Dalam hal ini memang ada dua titik ekstrem dikalangan umat Islam. Pertama, kaum sekuleris yang beranggapan bahwa: Islam Yes Partai atau Politik Islam No. Kedua, sebagian aktifis gerakan atau aliran keislaman yang membidahkan partai Islam karena mereka beranggapan tidak ada contohnya dimasa Rasul SAW.
Islam adalah agama yang sempurna (QS 2:208), mencakup aspek diin (agama) dan daulah (negara). Dan Rasulullah SAW, Khulafaur Rasyidin dan pemimpin Islam selanjutnya -jika kita menggunakan konteks sekarang- adalah para pemimpin negara. Hukum-hukum yang terdapat dalam Alquran dan Sunnahpun sebagian besarnya tidak mungkin diterapkan kecuali dalam ruang lingkup negara.
Disebutkan dalam literatur Islam bahwa tugas pemimpin adalah hirasatudin wa siyasatudunya bihi (memelihara agama dan menegatur urusan dunia dengan aturan agama ) (Al-Mawardi dalam Al-Ahkaam As-Sulthoniyah hal 3). Jadi mengatur segala urusan dunia(negara) adalah politik. Jika kita kembali kepada ayat-ayat Alquran maka kita akan menemukan banyak kisah-kisah yang sarat dengan dunia perpolitikan seperti kisah Ibrahim AS vs Namrud, Musa AS vs Firaun, Thalut vs Jalut dan Rasullulah SAW vs kuffar Quraisy, Yahudi dan Nasrani.
Ini semua berkaitan dengan dimensi politik, namun kita bisa membedakan siapa diantara mereka yang selalu menegakkan nilai-nilai kebenaran dan yang selalu membaking nilai-nilai kebatilan (QS 9:32). Imam Al-Bujairimi dalam kitabnya at-Tajrid linnafi al-abid vol 2, hal 178 berkata: Siyasah adalah memperbaiki dan merencanakan urusan rakyat.
Ibnul Qoyyim dalam kitabnya ilamul Muaqiin vol 4 hal 375 membagi siyasah menjadi dua, siyasah shohihah (benar) dan siyasah fasidah (salah), siyasah yang benar adalah bagian dari syariah. Maka bernegara, mengangkat pemimpin dan berpolitik adalah kewajiban yang disepakati ulama. Apabila politik ini merupakan kendaraan atau sarana untuk menegakkan nilai-nilai kebenaran, keadilan dan keindahan yang ada dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul SAW.
Setiap muslim wajib melakukan gerakan dakwah dengan seluruh potensi yang dimilikinya sebagai mana yang pernah dilakukan oleh para nabi dan salafu shalih berikutnya. Bahkan berdakwah menyampaikan kebenaran kepada pemimpin yang dholim merupakan jihad yang paling utama. Hanya saja media apa yang paling tepat pada saat ini untuk menyuarakan kemarufan itu dan membrangus kebatilan ? Kami yakin bahwa kita semua sepakat media dakwah yang paling ideal pada saat ini di Indonesia- adalah lembaga atau institusi formal. Institusi formal yang dapat digunakan untuk dakwah diantaranya: Sekolah, Pesantren, Yayasan Sosial dll. Salah satu lembaga yang penting adalah orpol (organisasi politik) atau partai politik.
Anehnya ada sebagian umat Islam atau sebagian kelompok Islam yang membidahkan partai politik atau berdakwah lewat partai politik. Lalu apakah mendirikan, sekolah dan yayasan sebagai sarana dakwah adalah bidah? Apakah pesantren atau berdakwah melalui pendidikan di pesantren juga bidah ? Karena pesantren tidak ada dimasa Rasulullah SAW. Apakah berdakwah melalui mas media cetak maupun elektronik juga bidah ? Karena kebanyakan masmedia milik umat non Islam. Apakah berdakwah melalui komputer itu bidah ? Karena komputer itu produk umat non Islam.
Partai politik, yayasan, pesantren, mas media dan komputer adalah sarana. Disini justru umat Islam dianjurkan untuk melakukan ibda (kreatifitas) dalam hal sarana dan metodologi dakwah sesuai dengan perkembangan jaman. Tetapi itu semua harus sesuai dengan koridor Islam. Dalam alam demokrasi salah satu dakwah yang paling penting dan efektif adalah dakwah melalui partai politik. Karena nilai-nilai Islam dapat diperjuangkan dilembaga-lembaga tinggi negara. Di lembaga legislatif dalam bentuk undang-undang, di lembaga eksekutif dalam bentuk pelaksanaan undang-undang tersebut dan di lembaga yudikatif dalam bentuk kontrol terhadap undang-undang.
Memang dalam suatu negara yang bercirikan kerajaan tidak dapat membuat partai politik dan itu dibidahkan oleh raja dan seluruh jajarannya. Di Saudi misalnya, berpartai dan berpolitik adalah bidah dan haram hukumnya, sedangkan di Indonesia di masa Orde Baru partai politik hanya sekedar alat yang dijadikan kendaraan politik rezim Soeharto untuk melanggengkan kekuasannya. Lalu apakah kita akan mengikuti raja atau presiden yang kekuasaannya seperti raja, atau mengikuti ulama yang loyal kepada raja dan kerajaan atau mengikuti Alquran dan Sunnah ?
Kalau kita ingin mengikuti Alquran dan As-sunnah maka disana ada hizbullah (partai Allah) (QS 5 : 54-56), dan umat Islam wajib wala kepada partai Allah atau partai Islam tersebut. Wallahu alam bishawab.
http://syariahonline.com/artikel/?act=view&id=37
Rabu, 29 Oktober 2008
Islam dan Negara
Konsep masyarakat politik (polity) dalam Islam terutama haruslah didasarkan pada ajaran Al-Qur'an. Dan sejauh menyangkut kitab suci ini, dapat dimengerti sepenuhnya bahwa sejak semula Al-Qur'an tidak memberikan konsep tentang negara, melainkan konsep tentang masyarakat. Perbedaan ini harus diingat dalam perdebatan tentang negara Islam. Harus diingat pula, Al-Qur'an lebih bersifat simbolik daripada deskriptif dan karena itu validitas dan vitalitasnya terletak pada interpretasi dan reinterpretasi simbol-simbol ini, sesuai dengan perubahan-perubahan situasi ruang dan waktu.
Ada perbedaan pandangan tentang konsep negara dan masyarakat politik dalam Islam.[1] Ali Abd al-Raziq dalam bukunya "Fundamentals of Government" (al-Islam wa ushul al-Hukm) berpendapat bahwa Islam tidak pernah mengklaim suatu bentuk pemerintahan duniawi; hal ini diserahkan untuk dipikirkan secara bebas oleh pemeluk-pemeluknya. Lebih lanjut ia menyebutkan, bahwa Al-Qur'an tidak pernah menyebut khalifah; artinya kekhalifahan bukanlah bagian dari dogma Islam. Ide tentang kekhalifahan dibuat oleh kitab-kitab fiqh yang disusun beberapa abad setelah wafatnya Nabi.[2] Di pihak lain, ada pula pendapat yang umumnya dianut oleh ulama kita, bahwa agama dan politik merupakan dua hal yang tak dapat dipisah-pisahkan dalam Islam. Pendapat ini umumnya diterima oleh kaum Muslim ortodoks. Namun, persoalannya menjadi sangat kompleks dan berjalin dengan berbagai faktor sehingga sangat sulit dipadukan begitu saja dengan pendapat lain.
Untuk memahami masalah ini secara tepat, kita mesti mempertimbangkan beberapa kondisi politik yang ada di Mekkah sebelum Islam dan bagaimana masyarakat Islam secara bertahap mulai terwujud. Mekkah, sebagaimana telah dikemukakan pada bab yang lalu, didominasi oleh suku Quraisy, yang terdiri dari bermacam-maca klan. Tentu, ada beberapa suku lain selain Quraisy, namun posisi mereka subordinatif dan pinggiran. Menarik untuk ditelaah, bahwa meskipun merupakan pusat perdagangan internasional, Mekkah tidak mempunyai struktur pemerintahannya sendiri. Lembaga kerajaan tidak dikenal, tidak pula ada perangkat negara yang dapat dibandingkan dengan negara mana pun.
Tidak ada penguasa turun temurun, juga tidak ada pemerintahan yang dipilih secara formal. Yang ada hanyalah suatu dewan suku yang dikenal dengan mala' (semacam senat). Senat ini terdiri dari perwakilan klan yang ada. Hal penting yang mesti dicatat mengenai mala' ini, ia hanya berupa badan perundingan dan tidak mempunyai badan eksekutif. Di samping itu, setiap unsur klan yang ada di senat secara teoritik independen, dan karena itu, keputusan yang dilahirkan tidak mengikat.[3] Mala' tidak mempunyai hak untuk menarik pajak dan melengkapi dirinya dengan polisi atau angkatan bersenjata, yang merupakan perangkat bagi sebuah negara untuk menegakkan hukum dan menjaga ketertiban umum. Namun, perkembangan dunia perdagangan yang begitu pesat, pada akhirnya menuntut adanya perangkat kenegaraan. Di tengah kekosongan negara secara institusional, maka tidak ada teori politik yang koheren yang bisa menjelaskannya. Paling-paling orang hanya bisa mengatakan, bahwa sebelum kemunculan Islam di Mekkah terdapat demokrasi kesukuan primitif.
Di Medinah lah Nabi mulai memberikan perhatian yang cukup serius untuk menciptakan suatu organ yang dapat diterima semua pihak untuk menangani semua urusan yang ada di kota itu. Menarik untuk dicatat, bahwa masyarakat Medinah adalah masyarakat pluralistik baik dari segi ras maupun agama. Di sana terdapat campuran ras Yahudi, Arab pengelana, terutama yang termasuk ke dalam dua suku Aus dan Khazraj, serta kaum Muslimin emigran dari Mekkah.
Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa heterogenitas masyarakat Medinah waktu itu, sama dengan masyarakat di negeri-negeri sekuler modern dewasa ini. Negeri dengan ragam ras, suku dan agama itu dipersatukan di bawah kepemimpinan Nabi dan itulah yang disebut ummah. Meskipun seringkali kata ummah diterapkan hanya untuk komunitas Muslim, tapi sulit bagi kita untuk mendukung klaim seperti itu.
Barakat Ahmad mengatakan, "Para orientalis membeda-bedakan perkembangan istilah Al-Qur'an tersebut. Sebagian sarjana Muslim menyatakan bahwa istilah ummah menggambarkan masyarakat Muslim, tapi ini tidak seluruhnya benar. Istilah ini menggambarkan kedudukan secara de facto. Secara teoritik, penggunaan istilah ummah selama karir kerasulan tidak terbatas pada komunitas Muslim saja.[4] Nabi membuat suatu masyarakat politik di Medinah berdasarkan konsensus dari berbagai kelompok dan suku. Konsensus yang disusun oleh Nabi itulah yang dikenal dengan Piagam Madinah atau Sahifah. Dan masyarakat yang terikat dengan perjanjian itu disebut "masyarakat Sahifah".[5]
Bagi masyarakat Arab yang sebelumnya tidak pernah hidup sebagai komunitas antar-suku dengan kesepakatan bersama, dokumen seperti itu tentulah sangat revolusioner dan mendukung inisiatif Nabi untuk membangun basis bagi berlakunya prinsip hidup berdampingan secara damai (co-existence). Nicholson mengkomentari dokumen ini:
"Tidak ada seorang peneliti pun yang tidak terkesan pada kejeniusan politik penyusunnya. Nyatalah bahwa memperbaharui dengan hati-hati dan bijaksana, adalah realitas suatu revolusi. Muhammad tidak menyerang secara terbuka indenpedensi suku-suku tersebut, tetapi memusnahkan pengaruhnya dengan mengubah pusat kekuatan dari suku ke masyarakat ..."[6]
Kiranya pada tempatnya, jika kita perhatikan beberapa ketentuan dari Sahifah itu. Ibnu Hisyam menyampaikan kepada kita: "Ibnu Ishaq berkata, bahwa Rasulullah menyusun suatu persetujuan antara Muhajirin dan Anshar, di dalamnya termasuk orang-orang Yahudi. Orang-orang Yahudi diizinkan untuk tetap memeluk agamanya dan menjaga harta kekayaan mereka. Dokumen itu dimulai dengan nama Tuhan Maha Pengasih Maha Penyayang. Ini perjanjian antara Muhammad dan orang-orang mukmin dan Muslim Quraisy dan Yastrib (Medinah) dan orang-orang yang mengikuti mereka dan orang-orang yang terikat padanya dan orang-orang yang mendukung mereka. Mereka adalah umat yang satu yang berbeda dengan umat yang lainnya. Orang-orang Yahudi akan berbagi tanggungjawab dengan orang-orang Muslim selama mereka berjuang. Orang-orang Yahudi dari Bani Auf akan menjadi satu Ummah dengan orang-orang Muslim. Bagi orang Yahudi agama mereka dan bagi Muslim agama mereka pula..."[7]
Dokumen ini meletakan dasar bagi komunitas politik di Medinah dengan segala perbedaan yang ada: suku, kelompok-kelompok dan agama -- dengan menghormati kebebasan untuk mengamalkan agama mereka masing-masing. Dengan demikian dapat dilihat, bahwa Nabi menyusun suatu persetujuan yang menetapkan ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama, bukan mendirikan sebuah "negara teologis."[8] Semua kelompok agama dan kelompok suku diberikan otonomi penuh untuk memelihara tradisi dan kebiasaan mereka masing-masing. Dengan demikian, persetujuan tersebut, lebih didasarkan pada konsensus daripada berdasarkan pada paksaan dan ini mirip dengan perkembangan politik negara modern. Berbicara secara historis, suatu kontrak yang berakar dari tradisi kesukuan, toh demokratis, baik dari segi semangat maupun prakteknya. Selain itu, aparat negara yang memaksa, belum berkembang di bagian negeri Arab itu. Meskipun begitu, tekanan-tekanan sosial sudah berfungsi.
Pendukung "negara teokratik" sering berdalih bahwa dokumen Piagam Madinah itu dibuat ketika Muslim masih menjadi minoritas dan hukum Islam memang belum seluruhnya diwahyukan, dan oleh karena itu terhapus oleh perkembangan-perkembangan kemudian. Namun dalih ini tidak dapat dipertahankan, terutama jika kita cermati ayat-ayat Al-Qur'an yang diturunkan kemudian secara terbuka. Pertama, dalam hal lain, sunnah Rasulullah tidak dibatalkan, lebih-lebih lagi dalam persoalan ini, yang merupakan persoalan yang paling vital dalam kebijakan Islam. Kedua, ayat-ayat terakhir Al-Qur'an tidak membatalkan apa yang disepakati di dalam Sahifah. Kalaulah orang-orang Yahudi dihukum, seperti diperintahkan wahyu terakhir, itu karena mereka mengingkari kesepakatan. Sahifah tidak pernah dibatalkan. Semangatnya mempunyai validitas hingga sekarang.
Dokumen itu memberikan landasan, pertama, yang menjamin otonomi bagi kelompok yang beragama, kebebasan untuk memeluk dan melaksanakan suatu agama, adat dan tradisi, serta persamaan hak bagi semua orang. Kedua, dokumen itu jelas menekankan pada sisi demokrasi dan konsensus, bukan pada tekanan dan paksaan. Dari sini, juga penting untuk dicatat, bahwa dalam masalah politik pemerintahan, Nabi tidak menggunakan otoritas teologis. Dokumen itu, setelah kita kaji, sama dengan teori kontrak sosialnya J.J Rousseau. Bagi Rousseau, kebebasan bukanlah kebebasan liberal atau kebebasan individu 'dari' masyarakat, tapi kebebasan yang dilaksanakan di dalam dan untuk seluruh masyarakat. Artinya, manusia dibebaskan oleh masyarakat yang membebaskan. Kebebasan tidak dicapai dengan cara menyingkirkan orang lain, tapi merupakan implikasi positif dari kebebasan untuk semua.[9]
Seperti disinggung di awal bab ini, Al-Qur'an memberikan konsep tentang masyarakat, bukan konsep pemerintahan. Sekali lagi ditegaskan, bahwa Al-Qur'an berangkat dari kesadaran sejarah. Pendekatannya bersifat temporal, namun juga memperhatikan nuansa spasial. Perintah-perintah Al-Qur'an di samping bersifat multi-dimensional juga bersifat transendental. Jika dilihat dalam konteks yang tepat, tidak ada dalam Al-Qur'an sesuatu yang tidak berlaku. Artinya, validitas Al-Qur'an tetap terjaga dalam kerangka spasio-temporal. Dalam mengkaji Al-Qur'an, terasa ada ketegangan antara yang eksistensial dan yang transendental. Dari ketegangan itulah dorongan ke arah kemajuan dan gerakan yang kreatif dapat terpenuhi. Berikut kita sedikit akan menguraikan masalah ini
Lalu, apa tujuan 'negara' Islam? Dengan kata lain, masyarakat yang seperti apa yang ingin diwujudkan Islam? Dalam karya-karya pemikir Islam abad pertengahan yang diikuti oleh para ulama hingga sekarang, pusat perhatiannya adalah pada konsep akhirah. Menurut mereka, seluruh perhatian tertuju pada penciptaan suatu tatanan sosial yang akan mempersiapkan manusia menuju akhirat itu. Hasi dari interpretasi seperti itu (yang sudah menjadi jamak pada periode pertengahan), adalah reduksi agama menjadi murni 'olah spiritual' yang tidak mempunyai muatan transformatif sama sekali. Sementara itu, elit kekuasaan membangun suatu aparatur negara yang refresif dan para ulama telah menjadi bagian dari kekuasaan itu. Akibatnya, Islam harus menjadi 'pelayan' kekuasaan dengan cara melakukan spiritualisasi dan mistifikasi ajarannya.
Perangkat kenegaraan yang sangat menindas (yang sangat bertentangan dengan apa yang dicontohkan Nabi dalam dokumen politiknya) telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat Islam, bahkan sejumlah hadist telah dibuat untuk menjustifikasi situasi itu. Ayat Al-Qur'an yang terkenal: "Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri (orang-orang yang berkuasa) di antara kamu. Jika kamu berbeda tentang sesuatu, maka kembalikanlah masalah itu kepada Allah dan Rasul-Nya, apabila kamu iman kepada Allah dan hari kiamat",[10] dijadikan argumen, bahwa siapapun yang berkuasa, haruslah ditaati. Dalam beberapa kasus hadist ini diberi catatan tambahan "sepanjang penguasa itu tetap melakukan shalat".[11] Ibn al-Muqaffa, seorang pemikir politik Islam yang besar, mengutip beberapa hadits Nabi untuk menekankan ketaatan yang total dan tidak bersyarat kepada khalifah. "Siapa yang taat kepadaku", ia mengutip kata-kata Nabi "sungguh telah mentaati Tuhan; dan siapa yang mentaati Imam, sungguh telah mentaati aku". (Di sini, "imam" menunjuk pada khalifah ketika itu). Menurut hadist lain lagi, "Bahkan andai seorang budak berkulit hitam dijadikan raja, maka dengarkanlah dan taatilah dia". Ibn Muqaffa lebih lanjut berpendapat bahwa loyalitas terhadap imam adalah sesuatu yang esensial, bahkan andaipun ia menjadi seorang tiran, karena imam bagaimanapun berada pada 'pengawasan' karsa Tuhan. Untuk mendukung pendiriannya, ia menggelar sebuah hadits dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi pernah berkata:
"Bila Allah bermaksud baik terhadap suatu masyarakat, Dia mengangkat bagi mereka seorang penguasa yang baik dan meletakkan harta benda mereka di tangan orang-orang yang toleran; dan ketika Dia menghendaki memberikan cobaan berat kepada mereka, Dia mengangkat untuk mereka seorang penguasa yang tiran dan mempercayakan harta benda mereka di tangan orang-orang serakah."[12]
Namun sulit untuk mendapatkan dukungan bagi teori-teori politik itu di dalam Al-Qur'an sendiri. Al-Qur'an secara tuntas menekankan pada penciptaan masyarakat yang adil dan egalitarian. Ia berulang-ulang memperingatkan orang-orang beriman agar bersikap adil. "Dan jika engkau memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah di antara mereka dengan adil, sungguh Allah menyukai orang-orang yang adil", kata Al-Qur'an.[13] Allah jelas tidak akan memberikan kekhalifahan-Nya kepada orang-orang yang tidak adil dan para tiran. Lebih lanjut Al-Qur'an mengatakan, "Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman; Sesungguhnya aku akan menjadikanmu Imam bagi seluruh manusia." Dan Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) keturunanku (menjadi pemimpin bagi mereka). Allah berfirman: "janjiku tidak mengenai orang-orang yang dzalim."[14]
Inilah ayat yang paling bermakna dari Al-Qur'an. Nabi Ibrahim diangkat menjadi pemimpin (imam) hanya setelah menunaikan perintah Tuhan dan ketika ia berdo'a untuk menyertakan juga keturunannya agar menjadi pemimpin kelak, maka Tuhan menegaskan bahwa hal itu tidak mungkin bagi orang-orang yang dzalim dan tiran. Politik Islam, sebagaimana digambarkan Al-Qur'an, tidak mengizinkan memapankan ketidakadilan dan kekuasaan yang tiranik. Dzulm (penindasan) dikutuk dengan istilah-istilah yang sekeras mungkin. "Betapa banyak kota yang telah dihancurkan karena penduduknya sangat dzalim", kata Al-Qur'an.[15]
Ada kesalahan yang serius mengenai konsep Islam tentang jihad (perang suci). Jihad tidak dibenarkan untuk menyebarkan Islam secara paksa, atau untuk menjajah dan memperbudak orang lain. Apalagi dengan menjarah dan merusak kota. "Dia berkata, sesungguhnya raja-raja ketika memasuki sebuah negeri niscaya mereka membinasakannya dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina. Dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat.[16] Jihad yang secara harfiah berarti "berusaha keras", dimaksudkan hanya untuk menegakkan keadilan dan perang harus dilakukan sampai semua bentuk penindasan berakhir. Al-Qur'an mengizinkan penggunaan kekerasan dalam perjuangannya melawan kedzaliman dan ketidakadilan. Sebenarnya, pembalasan terhadap penindasan dan kedzaliman dianggap sebagai sebuah kebajikan. "...Selamatkan orang-orang yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut nama Allah dan mendapat kemenangan sesudah mengalami tindak kedzaliman. Mereka yang berbuat dzalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali", kata Al-Qur'an.[17]
Aspek penting lain dari masyarakat politik Islam adalah, bahwa Islam menganggap seluruh manusia sama, tanpa perbedaan warna kulit, ras atau kebangsaan. Kriteria satu-satunya hanyalah kesalehan (tidak hanya kesalehan religius dengan melaksanakan ritual agama secara cermat tapi juga kesalehan sosial karena Al-Qur'an mensejajarkan kesalehan dengan keadilan),[18] tidak ada yang lain. "Yang paling mulia di sisi Tuhan adalah orang yang takwa,"[19] demikian Al-Qur'an menyatakan dengan gamblang. Nabi menegaskan hal ini pada saat haji terakhirnya di Mekkah. Sabdanya:
"Orang Arab tak lebih tinggi daripada orang ajam, begitu pula orang ajam tidak lebih tinggi daripada orang Arab; tidak ada perbedaan antara yang hitam dan yang putih, kecuali oleh tingkat kesalehan yang diperlihatkan dalam hubungannya dengan orang lain... Janganlah tunjukkan kepadaku kebanggaan keturunanmu, tapi tunjukkan perbuatan baikmu."[20]
Butir pokok dari masyarakat politik Islam adalah dorongan bagi kelompok lemah untuk terus berjuang melawan kekuatan-kekuatan dominan dalam masyarakat. Nabi dalam tingkat tertentu mengatakan bahwa, "Jihad yang paling baik adalah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa tiranik."[21] Pidato pertama yang diucapkan Abu Bakar, khalifah pertama yang terpilih setelah wafat Nabi, adalah juga merupakan pernyataan yang luar biasa dalam masalah ini. Setelah memangku jabatan, ia berpidato:
"... Orang-orang lemah di antara kamu bisa menjadi kuat di hadapanku. Aku akan membuat para penindas menyerahkan hak mereka. Orang-orang kuat di antara kamu, bisa menjadi lemah di hadapanku. Insya Allah, aku akan melihat orang-orang tertindas memperoleh hak-haknya kembali."[22]
Adalah dalam semangat untuk melindungi orang-orang lemah, Nabi dalam pesannya pada haji perpisahan, membebaskan semua orang yang mempunyai hutang dari pembayaran bunga, walaupun modal yang dipinjam harus tetap dikembalikan.[23]
Banyak ulama dan teolog mempertahankan secara dogmatis, bahwa negara Islam adalah negara teokratik, dan dalam negara demikian, tidak ada tempat bagi inisiatif manusia dalam arena legislasi, karena Tuhanlah satu-satunya pembuat hukum. Maulana Abul A'la al-Maududi menggambarkan pemerintahan Islam sebagai "Theo-Demokrasi", dan dalam bentuk pemerintahan itu, umat Islam hanya memiliki "kedaulatan rakyat yang terbatas" di bawah kemahakuasaan Allah.[24] Ini adalah posisi yang hampir tak dapat dipertahankan kecuali kalau seseorang menerima pendapat ulama' abad pertengahan sebagai suatu kata akhir dan menganggap tertutup semua pilihan lain. Karya ulama, dengan segala keterbatasan dan kelebihan mereka yang manusiawi, tidak bisa disamakan dengan firman Tuhan.
Jika ditafsirkan dengan tepat, di dalam arena legislasi, Islam juga tidak melumpuhkan inisiatif manusia. Bila syari'ah seperti yang dikompilasikan oleh para teolog zaman-zaman Islam awal diambil sebagai corpus hukum negara Islam, saya khawatir, kedaulatan Tuhan lalu akan disamakan dengan kedaulatan ulama'. Ini juga akan menyatakan secara tidak langsung bahwa semua perkembangan yang akan terjadi di masyarakat sudah diantisipasi oleh para ulama' dengan kompilasi hukum Islam di zaman awal Islam ini. Semua sejarawan hukum Islam sepakat bahwa di dalam mengkompilasi hukum Islam, para fuqaha dipengaruhi secara dalam oleh kondisi zaman dan perkembangan yang terjadi setelah penaklukan wilayah-wilayah, dan itulah sebabnya, mengapa terjadi perbedaan mazhab pemikiran hukum.[25]
Faruq Abu Zayd dengan tepat menjelaskan bahwa Imam Abu Hanifah di Irak dengan pertumbuhan masyarakatnya yang cepat, lebih dihadapkan dengan problem-problem yang kompleks, daripada para ahli hukum Hijaz yang lebih dekat dengan kehidupan orang-orang Baduy, sehingga menghadapi problem yang lebih sederhana. Karena alasan ini Abu Hanifah seringkali terpaksa menggunakan ra'y danm pertimbangan akal dibandingkan para ahli hukum Hijaz dalam memutuskan hukum. Bagi orang-orang Hijaz Al-Qur'an dan Sunnah Rasul sudah mencukupi.[26]
Kini kita berada dalam masyarakat yang sedang berubah cepat. Revolusi Industri telah menimbulkan problem-problem yang jauh lebih kompleks. Sebagaimana ahli hukum Irak yang harus berbeda dengan ahli hukum Hijaz mengingat perbedaan sifat persoalan yang mereka hadapi, maka sesuai dengan situasi dunia modern yang baru dan jauh lebih kompleks, para ahli hukum modern harus berusaha merubah, kapan dan di mana perlu, corpus Islam yang diwariskan kepada mereka. Namun apa yang diperlukan adalah menegakkan semangat teks wahyu dan tujuan-tujuan yang diinginkannya. Tidak pernah menjadi tujuan Tuhan untuk memutuskan hubungan dengan yang transenden dan membawa kebekuan dalam urusan manusia. Fungsi ketuhananlah yang harus membawa pertumbuhan teologis dan pertumbuhan itu membawa serta perubahan. Pertumbuhan dan perubahan sosial demikian membutuhkan perubahan dalam hukum yang mencerminkan realitas sosial zaman permulaan.
Lantas muncul persoalan: Apa yang masih tersisa dari agama yang membentuk hukum-hukum ini? Jawabannya sederhana dan jelas: religiositas. Apakah religiositas itu? Tentu hal ini agak abstrak, namun sama sekali bukan istilah yang mengada-ada. Religiositas menyatakan secara tidak langsung keterlibatan emosi yang tulus dengan visi moral dan spiritual yang menyatakan kepada pengalaman yang agung. Setiap agama jelas menanamkan ke dalam diri pengikutnya suatu visi moral dan spiritual yang unik. Tekanan-tekanan ke arah perubahan tidaklah mempengaruhi keunikan visi ini. Fyzee mendefinisikan keunikan Islam ini dengan tiga karakteristik: Kebenaran (truth), keindahan (beauty) dan kebajikan (goodness).[27] Fyzee mengatakan:
"Islam menekankan kebenaran, keindahan dan kebajikan, nilai-nilai Platonik. Mengenai kebenaran, sedikit sekali peradaban telah menyelamatkan sastra, sains dan filsafat seperti yang telah dilakukan Islam. Ia telah menghasilkan peradaban yang agung. Sarjana-sarjana Islam telah menerjemahkan buku-buku dari bahasa Yunani dan bahasa Sanskerta dan ilmu pengetahuan Islam adalah Bapak ilmu pengetahuan modern. Mengenai keindahan, Islam telah memajukan seni, musik dan arsitektur. Menyangkut kebajikan, Islam memproklamirkan dan mempraktekkan dengan baik persaudaraan manusia. Dengan demikian ia telah membuka jalan bagi konsep demokrasi modern. Ia telah meletakkan fondasi hukum internasional. Pandangan hidupnya diwujudkan di dalam syari'ah, gudang hukum, agama dan etika yang kaya. Syari'ah analog dengan Torah di kalangan orang-orang Yahudi dan Dharma di kalangan orang-orang Hindu."[28]
Tingkat religiositas yang paling agung adalah pencarian terus menerus bentuk-bentuk baru untuk perwujudan visi yang unik ini, baik lewat usaha kreatif maupun kemampuan penalaran. Hukum bersifat empiris, sedangkan visi bersifat transendental. Keseimbangan antara keduanya akan hilang jika terjadi penekanan hanya pada salah satu sisinya. Semata-mata menekankan pada empirisme membuat hukum tidak berlaku. Sebaliknya hanya menekankan aspek transendentalnya saja, membuat ia menjadi terlalu abstrak. Dulu, para ahli hukum Islam yang besar mencapai keseimbangan antara keduanya di pandang dari sudut kenyataan empiris pada masa mereka. Sesuai dengan visi transendental Islam, komponen substantif dari hukum Islam perlu diubah jika perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan sosial menghendakinya. Al-Qur'an menggunakan dua istilah yang sangat bermakna, ma'ruf dan munkar, yang menghadirkan kembali substansi (quintessence) moralitas Islam tanpa dirusak oleh kendala-kendala ruang-waktu.
Ma'ruf adalah sesuatu yang umumnya dapat diterima masyarakat dan munkar adalah sesuatu yang ditolak masyarakat demi menjaga tertib moral. Dengan menggunakan konsep-konsep ini, Al-Qur'an telah membuka peluang yang cukup bagi penafsiran kembali hukum-hukumnya agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan tatanan moral yang baik. Konsep ma'ruf dan munkar akan selalu berubah jika masyarakat berubah, berkembang dan mengalami kemajuan. Ma'ruf dan mungkar merupakan istilah yang sangat komprehensif. Dan keindahan serta keabadian Al-Qur'an terletak dalam pengungkapannya yang abstrak sehingga generasi-generasi penerus dapat mendefinisikannya menurut kebutuhan dan pengalaman mereka. Istilah-istilah ini, yang sangat fundamental bagi ajaran Al-Qur'an, juga cukup komprehensif untuk mencakup moralitas politik. Masyarakat politik (polity) menurut Al-Qur'an adalah masyarakat politik yang berorientasi moral dan dimaksudkan untuk menekankan praktek-praktek politik yang akan menghasilkan kebaikan maksimum bagi masyarakat, yaitu masyarakat Qur'ani yang secara tegas menerima yang ma'ruf dan menolak yang munkar.
Lagi-lagi untuk membangun tatanan sosial yang sehat, Al-Qur'an menggunakan dua istilah lain yang sangat bermakna: mustakbirin dan mustadh'afin yang berarti yang sombong dan yang dilemahkan. Al-Qur'an mengutuk yang pertama dan bersimpati kepada yang kedua. Al-Qur'an menyatakan orang-orang yang sombong (mustakbirin) adalah berdosa.[29] Al-Qur'an juga menegaskan bahwa mustakbirin (mereka yang kuat dan arogan) senantiasa tidak beriman, yakni berdosa karena kufur. Sedangkan mustadh'afin (mereka yang tertindas dan dilemahkan) selalu merupakan kelompok yang pertama beriman, (beriman kepada Tuhan dan melakukan yang ma'ruf). Al-Qur'an menyatakan, "Orang-orang yang menyombongkan diri berkata: "Sesungguhnya kami adalah orang yang tidak percaya pada apa yang kamu imani itu".[30] Dengan demikian mustakbirin dalam bahasa Al-Qur'an adalah orang kafir sejati, sementara mustadh'afin adalah orang mukmin sejati.
Kata kafir merupakan kata yang seringkali disalahartikan. Kata tersebut selalu dipahami dengan pengertian yang tidak sejalan dengan terminologi Al-Qur'an. Selama ini ia selalu digunakan dalam pengertian yang formal sekali. Sesungguhnya kata kafir dalam Al-Qur'an merupakan istilah yang fungsional, bukan formal. Orang kafir yang sesungguhnya adalah orang yang arogan dan penguasa yang menindas, merampas, melakukan perbuatan-perbuatan salah dan tidak menegakkan yang ma'ruf, tetapi sebaliknya membela yang munkar. Demikian juga sebaliknya. Orang mukmin yang sejati, bukan mereka yang hanya mengucapkan kalimat syahadat saja,[31] tetapi mereka yang menegakkan keadilan bagi mereka yang tertindas dan lemah, yang tidak pernah menyalahgunakan posisi kekuasaan mereka atau menindas orang lain atau memeras tenaga orang lain, yang menegakkan kebaikan dan menolak kejahatan.
Dengan demikian masyarakat Qur'ani tidak memberikan tempat bagi penindasan dan pemerasan terhadap yang lemah oleh yang kuat. Perjuangan orang-orang yang lemah (mustadh'afin) akan terus berlangsung melawan mereka yang berkuasa dan arogan (mustakbirin), selama perbedaan antara keduanya tidak dihapuskan. Budaya politik Islam didasarkan pada simpat kepada mereka yang lemah dan dieksploitasi dan benci terhadap mereka yang berkuasa dan menindas. Dr. Habibullah Payman dari Iran mengatakan, "dalam Ideologi Islam permanensi dan kesinambungan revolusi (sampai perbedaan antara yang menindas yang ditindas tidak ada lagi) lebih penting daripada revolusi itu sendiri. Revolusi merupakan salah satu dari beberapa alternatif bagi manusia yang bertanggung jawab. Artinya, manusia harus berusaha mengubah sistem yang didasarkan atas istikbar (keangkuhan kekuasaan dan eksploitasi) dan istidh'af (yakni penekanan dan penindasan) dan penolakan terhadap yang munkar (ketidak-adilan). "Revolusi yang permanen" semacam itu dan perlawanan terhadap arogansi kekuasaan secara terus menerus merupakan bagian dari kultur politik Islam."[32]
Khalifah Ali, salah seorang dari beberapa tokoh terbesar yang dilahirkan Islam pada masa awal, menggambarkan konsep revolusi Islam dengan sangat ringkas dalam salah satu khotbahnya: (Revolusi Islam akan terus berjalan) sampai mereka yang berada dalam status paling rendah di antara kamu menjadi yang paling tinggi dan mereka yang paling tinggi di antara kamu akan menjadi yang paling rendah dan mereka yang melampaui akan dilampaui".[33]
Dasar-dasar masyarakat politik Islam yang ideal, sebagaimana yang diderivasikan dari Al-Qur'an, sangat berbeda dengan apa yang sudah dan masih dilakukan atas nama Islam oleh kelompok kepentingan yang kuat di negara-negara Islam dewasa ini.
Catatan
1 Lihat Qamaruddin Khan, Al-Mawardi's Theory on the State, (Lahore, t.t.), hal. 4
2 Ali Abdul Raziq, Al Islam wa Usul al-Hukm, (Cairo), bandingkan dengan tulisan Islamolog asal Hongaria, Gyula Germanus, Contribution of Islam to World Civilization and Culture, ed. Cyula Wojtilla, (Delhi, 1981) hal. 152.
3 Asghar Ali Engineer, The Origin and Development of Islam, (Bombay, 1980), hal 45-46.
4 Barakat Ahmad, Muhammad and the Jews, A Re-Examination, (Delhi, 1979), hal. 39. Bandingkan dengan Abul A'la Maududi, Islamic Way of Life (Delhi, 1967), hal. 17.
5 Barakat Ahmad, op. cit., hal. 39.
6 R.A. Nicholson, A Literary History of the Arabs, (Cambridge, 1907), hal. 173.
7 Lihat Ibnu Hisyam, Sirah, vol. 1. (Cairo, 1332 A.H.) Lihat juga Alfred Guillaume, The Life of Muhammad: a Translation of Ibn Ishaq's Sira Rasul Allah, (London, 1955).
8 Penting dicatat bahwa 'Ulama Deobandi yang turut serta dalam perjuangan kemerdekaan India bersama dengan partai Indian National Congress, mengambil inspirasi dari dokumen yang luar biasa ini untuk membentuk negara sekuler di India dengan minoritas dijamin hak-haknya untuk memeluk dan mempraktekkan agamanya.
9 Lucio Colleti, From Rousseau to Lenin - Studies in Ideology and Society, (Delhi, 1978), hal. 151-152.
10 Al-Qur'an 4:59.
11 Asghar Ali Engineer, The Islamic State, (Delhi, 1980) hal. 69.
12 Lihat Qmaruddin Khan, Al-Mawardi's Theory of the State, Bazman Iqbal, Lahore, t.t.
13 Al-Qur'an 5:42.
14 Al-Qur'an 2:124.
15 Al-Qur'an 22:45.
16 Al-Qur'an 27:34.
17 Al-Qur'an 26:227.
18 Al-Qur'an 5:8.
19 Al-Qur'an 49:13.
20 Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, Vol. V. hal. 411.
21 Al Fath al-Kabir, Vol. I, hal 208. bandingkan Islam at a Glance, ed. Hakim Abdul Hamid, (Delhi, 1981), "Islam and Human Rights" oleh V.A. Syed Muhammad, hal. 83.
22 Lihat Ibnu Hisyam, Vol. III, (Cairo, 1332 A.H.), hal. 473.
23 Tabari, Tarikh, Vol. III (Cairo, 1362), hal. 150.
24 Syed Abul A'la Maududi, Islamic Riyasat, Dikumpulkan oleh Khursyid Ahmad, Lahore (Lahore, 1974), hal. 129-30.
25 Muhammad al-Khudari, Tarikh at Tasyri' al-Islam, edisi Urdu diterjemahkan oleh Maulana Abdus Salam Nadwi, Azam Garth, 1973, dan Faruq Abu Zayd, As Syari'at al-Islami Bayn al-Muhafizin wa al-Mujaddidin, Cairo, t.t.
26 Dr. Faruq Abu Zayd, op. cit., hal. 21.
27 A.A. Fyzee, A Modern Approach to Islam, Asia Publishing House, (Bombay, 1963), hal. 112.
28 Fyzee, Ibid.
29 Al-Qur'an 7:133.
30 Al-Qur'an 7:76.
31 Formula dasar adalah La ilaha illa Allah, Muhammad Rasulullah, yakni Tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah.
32 Dr. Habibullah Payman, Istidh'af wa Istikbar, Teheran, 1352, hal. 55. Ini adalah terjemahan bebas dari teks Persia.
33 Lihat Ali Bin Abu Thalib, Nahju al-Balaghah, tanda nomor 14 dan 15. Bandingkan dengan Inqilab az Didgah-i-Ali, Teheran, t.t. hal. 20.
by : Mohamad Zaki Hussein
Ada perbedaan pandangan tentang konsep negara dan masyarakat politik dalam Islam.[1] Ali Abd al-Raziq dalam bukunya "Fundamentals of Government" (al-Islam wa ushul al-Hukm) berpendapat bahwa Islam tidak pernah mengklaim suatu bentuk pemerintahan duniawi; hal ini diserahkan untuk dipikirkan secara bebas oleh pemeluk-pemeluknya. Lebih lanjut ia menyebutkan, bahwa Al-Qur'an tidak pernah menyebut khalifah; artinya kekhalifahan bukanlah bagian dari dogma Islam. Ide tentang kekhalifahan dibuat oleh kitab-kitab fiqh yang disusun beberapa abad setelah wafatnya Nabi.[2] Di pihak lain, ada pula pendapat yang umumnya dianut oleh ulama kita, bahwa agama dan politik merupakan dua hal yang tak dapat dipisah-pisahkan dalam Islam. Pendapat ini umumnya diterima oleh kaum Muslim ortodoks. Namun, persoalannya menjadi sangat kompleks dan berjalin dengan berbagai faktor sehingga sangat sulit dipadukan begitu saja dengan pendapat lain.
Untuk memahami masalah ini secara tepat, kita mesti mempertimbangkan beberapa kondisi politik yang ada di Mekkah sebelum Islam dan bagaimana masyarakat Islam secara bertahap mulai terwujud. Mekkah, sebagaimana telah dikemukakan pada bab yang lalu, didominasi oleh suku Quraisy, yang terdiri dari bermacam-maca klan. Tentu, ada beberapa suku lain selain Quraisy, namun posisi mereka subordinatif dan pinggiran. Menarik untuk ditelaah, bahwa meskipun merupakan pusat perdagangan internasional, Mekkah tidak mempunyai struktur pemerintahannya sendiri. Lembaga kerajaan tidak dikenal, tidak pula ada perangkat negara yang dapat dibandingkan dengan negara mana pun.
Tidak ada penguasa turun temurun, juga tidak ada pemerintahan yang dipilih secara formal. Yang ada hanyalah suatu dewan suku yang dikenal dengan mala' (semacam senat). Senat ini terdiri dari perwakilan klan yang ada. Hal penting yang mesti dicatat mengenai mala' ini, ia hanya berupa badan perundingan dan tidak mempunyai badan eksekutif. Di samping itu, setiap unsur klan yang ada di senat secara teoritik independen, dan karena itu, keputusan yang dilahirkan tidak mengikat.[3] Mala' tidak mempunyai hak untuk menarik pajak dan melengkapi dirinya dengan polisi atau angkatan bersenjata, yang merupakan perangkat bagi sebuah negara untuk menegakkan hukum dan menjaga ketertiban umum. Namun, perkembangan dunia perdagangan yang begitu pesat, pada akhirnya menuntut adanya perangkat kenegaraan. Di tengah kekosongan negara secara institusional, maka tidak ada teori politik yang koheren yang bisa menjelaskannya. Paling-paling orang hanya bisa mengatakan, bahwa sebelum kemunculan Islam di Mekkah terdapat demokrasi kesukuan primitif.
Di Medinah lah Nabi mulai memberikan perhatian yang cukup serius untuk menciptakan suatu organ yang dapat diterima semua pihak untuk menangani semua urusan yang ada di kota itu. Menarik untuk dicatat, bahwa masyarakat Medinah adalah masyarakat pluralistik baik dari segi ras maupun agama. Di sana terdapat campuran ras Yahudi, Arab pengelana, terutama yang termasuk ke dalam dua suku Aus dan Khazraj, serta kaum Muslimin emigran dari Mekkah.
Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa heterogenitas masyarakat Medinah waktu itu, sama dengan masyarakat di negeri-negeri sekuler modern dewasa ini. Negeri dengan ragam ras, suku dan agama itu dipersatukan di bawah kepemimpinan Nabi dan itulah yang disebut ummah. Meskipun seringkali kata ummah diterapkan hanya untuk komunitas Muslim, tapi sulit bagi kita untuk mendukung klaim seperti itu.
Barakat Ahmad mengatakan, "Para orientalis membeda-bedakan perkembangan istilah Al-Qur'an tersebut. Sebagian sarjana Muslim menyatakan bahwa istilah ummah menggambarkan masyarakat Muslim, tapi ini tidak seluruhnya benar. Istilah ini menggambarkan kedudukan secara de facto. Secara teoritik, penggunaan istilah ummah selama karir kerasulan tidak terbatas pada komunitas Muslim saja.[4] Nabi membuat suatu masyarakat politik di Medinah berdasarkan konsensus dari berbagai kelompok dan suku. Konsensus yang disusun oleh Nabi itulah yang dikenal dengan Piagam Madinah atau Sahifah. Dan masyarakat yang terikat dengan perjanjian itu disebut "masyarakat Sahifah".[5]
Bagi masyarakat Arab yang sebelumnya tidak pernah hidup sebagai komunitas antar-suku dengan kesepakatan bersama, dokumen seperti itu tentulah sangat revolusioner dan mendukung inisiatif Nabi untuk membangun basis bagi berlakunya prinsip hidup berdampingan secara damai (co-existence). Nicholson mengkomentari dokumen ini:
"Tidak ada seorang peneliti pun yang tidak terkesan pada kejeniusan politik penyusunnya. Nyatalah bahwa memperbaharui dengan hati-hati dan bijaksana, adalah realitas suatu revolusi. Muhammad tidak menyerang secara terbuka indenpedensi suku-suku tersebut, tetapi memusnahkan pengaruhnya dengan mengubah pusat kekuatan dari suku ke masyarakat ..."[6]
Kiranya pada tempatnya, jika kita perhatikan beberapa ketentuan dari Sahifah itu. Ibnu Hisyam menyampaikan kepada kita: "Ibnu Ishaq berkata, bahwa Rasulullah menyusun suatu persetujuan antara Muhajirin dan Anshar, di dalamnya termasuk orang-orang Yahudi. Orang-orang Yahudi diizinkan untuk tetap memeluk agamanya dan menjaga harta kekayaan mereka. Dokumen itu dimulai dengan nama Tuhan Maha Pengasih Maha Penyayang. Ini perjanjian antara Muhammad dan orang-orang mukmin dan Muslim Quraisy dan Yastrib (Medinah) dan orang-orang yang mengikuti mereka dan orang-orang yang terikat padanya dan orang-orang yang mendukung mereka. Mereka adalah umat yang satu yang berbeda dengan umat yang lainnya. Orang-orang Yahudi akan berbagi tanggungjawab dengan orang-orang Muslim selama mereka berjuang. Orang-orang Yahudi dari Bani Auf akan menjadi satu Ummah dengan orang-orang Muslim. Bagi orang Yahudi agama mereka dan bagi Muslim agama mereka pula..."[7]
Dokumen ini meletakan dasar bagi komunitas politik di Medinah dengan segala perbedaan yang ada: suku, kelompok-kelompok dan agama -- dengan menghormati kebebasan untuk mengamalkan agama mereka masing-masing. Dengan demikian dapat dilihat, bahwa Nabi menyusun suatu persetujuan yang menetapkan ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama, bukan mendirikan sebuah "negara teologis."[8] Semua kelompok agama dan kelompok suku diberikan otonomi penuh untuk memelihara tradisi dan kebiasaan mereka masing-masing. Dengan demikian, persetujuan tersebut, lebih didasarkan pada konsensus daripada berdasarkan pada paksaan dan ini mirip dengan perkembangan politik negara modern. Berbicara secara historis, suatu kontrak yang berakar dari tradisi kesukuan, toh demokratis, baik dari segi semangat maupun prakteknya. Selain itu, aparat negara yang memaksa, belum berkembang di bagian negeri Arab itu. Meskipun begitu, tekanan-tekanan sosial sudah berfungsi.
Pendukung "negara teokratik" sering berdalih bahwa dokumen Piagam Madinah itu dibuat ketika Muslim masih menjadi minoritas dan hukum Islam memang belum seluruhnya diwahyukan, dan oleh karena itu terhapus oleh perkembangan-perkembangan kemudian. Namun dalih ini tidak dapat dipertahankan, terutama jika kita cermati ayat-ayat Al-Qur'an yang diturunkan kemudian secara terbuka. Pertama, dalam hal lain, sunnah Rasulullah tidak dibatalkan, lebih-lebih lagi dalam persoalan ini, yang merupakan persoalan yang paling vital dalam kebijakan Islam. Kedua, ayat-ayat terakhir Al-Qur'an tidak membatalkan apa yang disepakati di dalam Sahifah. Kalaulah orang-orang Yahudi dihukum, seperti diperintahkan wahyu terakhir, itu karena mereka mengingkari kesepakatan. Sahifah tidak pernah dibatalkan. Semangatnya mempunyai validitas hingga sekarang.
Dokumen itu memberikan landasan, pertama, yang menjamin otonomi bagi kelompok yang beragama, kebebasan untuk memeluk dan melaksanakan suatu agama, adat dan tradisi, serta persamaan hak bagi semua orang. Kedua, dokumen itu jelas menekankan pada sisi demokrasi dan konsensus, bukan pada tekanan dan paksaan. Dari sini, juga penting untuk dicatat, bahwa dalam masalah politik pemerintahan, Nabi tidak menggunakan otoritas teologis. Dokumen itu, setelah kita kaji, sama dengan teori kontrak sosialnya J.J Rousseau. Bagi Rousseau, kebebasan bukanlah kebebasan liberal atau kebebasan individu 'dari' masyarakat, tapi kebebasan yang dilaksanakan di dalam dan untuk seluruh masyarakat. Artinya, manusia dibebaskan oleh masyarakat yang membebaskan. Kebebasan tidak dicapai dengan cara menyingkirkan orang lain, tapi merupakan implikasi positif dari kebebasan untuk semua.[9]
Seperti disinggung di awal bab ini, Al-Qur'an memberikan konsep tentang masyarakat, bukan konsep pemerintahan. Sekali lagi ditegaskan, bahwa Al-Qur'an berangkat dari kesadaran sejarah. Pendekatannya bersifat temporal, namun juga memperhatikan nuansa spasial. Perintah-perintah Al-Qur'an di samping bersifat multi-dimensional juga bersifat transendental. Jika dilihat dalam konteks yang tepat, tidak ada dalam Al-Qur'an sesuatu yang tidak berlaku. Artinya, validitas Al-Qur'an tetap terjaga dalam kerangka spasio-temporal. Dalam mengkaji Al-Qur'an, terasa ada ketegangan antara yang eksistensial dan yang transendental. Dari ketegangan itulah dorongan ke arah kemajuan dan gerakan yang kreatif dapat terpenuhi. Berikut kita sedikit akan menguraikan masalah ini
Lalu, apa tujuan 'negara' Islam? Dengan kata lain, masyarakat yang seperti apa yang ingin diwujudkan Islam? Dalam karya-karya pemikir Islam abad pertengahan yang diikuti oleh para ulama hingga sekarang, pusat perhatiannya adalah pada konsep akhirah. Menurut mereka, seluruh perhatian tertuju pada penciptaan suatu tatanan sosial yang akan mempersiapkan manusia menuju akhirat itu. Hasi dari interpretasi seperti itu (yang sudah menjadi jamak pada periode pertengahan), adalah reduksi agama menjadi murni 'olah spiritual' yang tidak mempunyai muatan transformatif sama sekali. Sementara itu, elit kekuasaan membangun suatu aparatur negara yang refresif dan para ulama telah menjadi bagian dari kekuasaan itu. Akibatnya, Islam harus menjadi 'pelayan' kekuasaan dengan cara melakukan spiritualisasi dan mistifikasi ajarannya.
Perangkat kenegaraan yang sangat menindas (yang sangat bertentangan dengan apa yang dicontohkan Nabi dalam dokumen politiknya) telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat Islam, bahkan sejumlah hadist telah dibuat untuk menjustifikasi situasi itu. Ayat Al-Qur'an yang terkenal: "Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri (orang-orang yang berkuasa) di antara kamu. Jika kamu berbeda tentang sesuatu, maka kembalikanlah masalah itu kepada Allah dan Rasul-Nya, apabila kamu iman kepada Allah dan hari kiamat",[10] dijadikan argumen, bahwa siapapun yang berkuasa, haruslah ditaati. Dalam beberapa kasus hadist ini diberi catatan tambahan "sepanjang penguasa itu tetap melakukan shalat".[11] Ibn al-Muqaffa, seorang pemikir politik Islam yang besar, mengutip beberapa hadits Nabi untuk menekankan ketaatan yang total dan tidak bersyarat kepada khalifah. "Siapa yang taat kepadaku", ia mengutip kata-kata Nabi "sungguh telah mentaati Tuhan; dan siapa yang mentaati Imam, sungguh telah mentaati aku". (Di sini, "imam" menunjuk pada khalifah ketika itu). Menurut hadist lain lagi, "Bahkan andai seorang budak berkulit hitam dijadikan raja, maka dengarkanlah dan taatilah dia". Ibn Muqaffa lebih lanjut berpendapat bahwa loyalitas terhadap imam adalah sesuatu yang esensial, bahkan andaipun ia menjadi seorang tiran, karena imam bagaimanapun berada pada 'pengawasan' karsa Tuhan. Untuk mendukung pendiriannya, ia menggelar sebuah hadits dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi pernah berkata:
"Bila Allah bermaksud baik terhadap suatu masyarakat, Dia mengangkat bagi mereka seorang penguasa yang baik dan meletakkan harta benda mereka di tangan orang-orang yang toleran; dan ketika Dia menghendaki memberikan cobaan berat kepada mereka, Dia mengangkat untuk mereka seorang penguasa yang tiran dan mempercayakan harta benda mereka di tangan orang-orang serakah."[12]
Namun sulit untuk mendapatkan dukungan bagi teori-teori politik itu di dalam Al-Qur'an sendiri. Al-Qur'an secara tuntas menekankan pada penciptaan masyarakat yang adil dan egalitarian. Ia berulang-ulang memperingatkan orang-orang beriman agar bersikap adil. "Dan jika engkau memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah di antara mereka dengan adil, sungguh Allah menyukai orang-orang yang adil", kata Al-Qur'an.[13] Allah jelas tidak akan memberikan kekhalifahan-Nya kepada orang-orang yang tidak adil dan para tiran. Lebih lanjut Al-Qur'an mengatakan, "Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman; Sesungguhnya aku akan menjadikanmu Imam bagi seluruh manusia." Dan Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) keturunanku (menjadi pemimpin bagi mereka). Allah berfirman: "janjiku tidak mengenai orang-orang yang dzalim."[14]
Inilah ayat yang paling bermakna dari Al-Qur'an. Nabi Ibrahim diangkat menjadi pemimpin (imam) hanya setelah menunaikan perintah Tuhan dan ketika ia berdo'a untuk menyertakan juga keturunannya agar menjadi pemimpin kelak, maka Tuhan menegaskan bahwa hal itu tidak mungkin bagi orang-orang yang dzalim dan tiran. Politik Islam, sebagaimana digambarkan Al-Qur'an, tidak mengizinkan memapankan ketidakadilan dan kekuasaan yang tiranik. Dzulm (penindasan) dikutuk dengan istilah-istilah yang sekeras mungkin. "Betapa banyak kota yang telah dihancurkan karena penduduknya sangat dzalim", kata Al-Qur'an.[15]
Ada kesalahan yang serius mengenai konsep Islam tentang jihad (perang suci). Jihad tidak dibenarkan untuk menyebarkan Islam secara paksa, atau untuk menjajah dan memperbudak orang lain. Apalagi dengan menjarah dan merusak kota. "Dia berkata, sesungguhnya raja-raja ketika memasuki sebuah negeri niscaya mereka membinasakannya dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina. Dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat.[16] Jihad yang secara harfiah berarti "berusaha keras", dimaksudkan hanya untuk menegakkan keadilan dan perang harus dilakukan sampai semua bentuk penindasan berakhir. Al-Qur'an mengizinkan penggunaan kekerasan dalam perjuangannya melawan kedzaliman dan ketidakadilan. Sebenarnya, pembalasan terhadap penindasan dan kedzaliman dianggap sebagai sebuah kebajikan. "...Selamatkan orang-orang yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut nama Allah dan mendapat kemenangan sesudah mengalami tindak kedzaliman. Mereka yang berbuat dzalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali", kata Al-Qur'an.[17]
Aspek penting lain dari masyarakat politik Islam adalah, bahwa Islam menganggap seluruh manusia sama, tanpa perbedaan warna kulit, ras atau kebangsaan. Kriteria satu-satunya hanyalah kesalehan (tidak hanya kesalehan religius dengan melaksanakan ritual agama secara cermat tapi juga kesalehan sosial karena Al-Qur'an mensejajarkan kesalehan dengan keadilan),[18] tidak ada yang lain. "Yang paling mulia di sisi Tuhan adalah orang yang takwa,"[19] demikian Al-Qur'an menyatakan dengan gamblang. Nabi menegaskan hal ini pada saat haji terakhirnya di Mekkah. Sabdanya:
"Orang Arab tak lebih tinggi daripada orang ajam, begitu pula orang ajam tidak lebih tinggi daripada orang Arab; tidak ada perbedaan antara yang hitam dan yang putih, kecuali oleh tingkat kesalehan yang diperlihatkan dalam hubungannya dengan orang lain... Janganlah tunjukkan kepadaku kebanggaan keturunanmu, tapi tunjukkan perbuatan baikmu."[20]
Butir pokok dari masyarakat politik Islam adalah dorongan bagi kelompok lemah untuk terus berjuang melawan kekuatan-kekuatan dominan dalam masyarakat. Nabi dalam tingkat tertentu mengatakan bahwa, "Jihad yang paling baik adalah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa tiranik."[21] Pidato pertama yang diucapkan Abu Bakar, khalifah pertama yang terpilih setelah wafat Nabi, adalah juga merupakan pernyataan yang luar biasa dalam masalah ini. Setelah memangku jabatan, ia berpidato:
"... Orang-orang lemah di antara kamu bisa menjadi kuat di hadapanku. Aku akan membuat para penindas menyerahkan hak mereka. Orang-orang kuat di antara kamu, bisa menjadi lemah di hadapanku. Insya Allah, aku akan melihat orang-orang tertindas memperoleh hak-haknya kembali."[22]
Adalah dalam semangat untuk melindungi orang-orang lemah, Nabi dalam pesannya pada haji perpisahan, membebaskan semua orang yang mempunyai hutang dari pembayaran bunga, walaupun modal yang dipinjam harus tetap dikembalikan.[23]
Banyak ulama dan teolog mempertahankan secara dogmatis, bahwa negara Islam adalah negara teokratik, dan dalam negara demikian, tidak ada tempat bagi inisiatif manusia dalam arena legislasi, karena Tuhanlah satu-satunya pembuat hukum. Maulana Abul A'la al-Maududi menggambarkan pemerintahan Islam sebagai "Theo-Demokrasi", dan dalam bentuk pemerintahan itu, umat Islam hanya memiliki "kedaulatan rakyat yang terbatas" di bawah kemahakuasaan Allah.[24] Ini adalah posisi yang hampir tak dapat dipertahankan kecuali kalau seseorang menerima pendapat ulama' abad pertengahan sebagai suatu kata akhir dan menganggap tertutup semua pilihan lain. Karya ulama, dengan segala keterbatasan dan kelebihan mereka yang manusiawi, tidak bisa disamakan dengan firman Tuhan.
Jika ditafsirkan dengan tepat, di dalam arena legislasi, Islam juga tidak melumpuhkan inisiatif manusia. Bila syari'ah seperti yang dikompilasikan oleh para teolog zaman-zaman Islam awal diambil sebagai corpus hukum negara Islam, saya khawatir, kedaulatan Tuhan lalu akan disamakan dengan kedaulatan ulama'. Ini juga akan menyatakan secara tidak langsung bahwa semua perkembangan yang akan terjadi di masyarakat sudah diantisipasi oleh para ulama' dengan kompilasi hukum Islam di zaman awal Islam ini. Semua sejarawan hukum Islam sepakat bahwa di dalam mengkompilasi hukum Islam, para fuqaha dipengaruhi secara dalam oleh kondisi zaman dan perkembangan yang terjadi setelah penaklukan wilayah-wilayah, dan itulah sebabnya, mengapa terjadi perbedaan mazhab pemikiran hukum.[25]
Faruq Abu Zayd dengan tepat menjelaskan bahwa Imam Abu Hanifah di Irak dengan pertumbuhan masyarakatnya yang cepat, lebih dihadapkan dengan problem-problem yang kompleks, daripada para ahli hukum Hijaz yang lebih dekat dengan kehidupan orang-orang Baduy, sehingga menghadapi problem yang lebih sederhana. Karena alasan ini Abu Hanifah seringkali terpaksa menggunakan ra'y danm pertimbangan akal dibandingkan para ahli hukum Hijaz dalam memutuskan hukum. Bagi orang-orang Hijaz Al-Qur'an dan Sunnah Rasul sudah mencukupi.[26]
Kini kita berada dalam masyarakat yang sedang berubah cepat. Revolusi Industri telah menimbulkan problem-problem yang jauh lebih kompleks. Sebagaimana ahli hukum Irak yang harus berbeda dengan ahli hukum Hijaz mengingat perbedaan sifat persoalan yang mereka hadapi, maka sesuai dengan situasi dunia modern yang baru dan jauh lebih kompleks, para ahli hukum modern harus berusaha merubah, kapan dan di mana perlu, corpus Islam yang diwariskan kepada mereka. Namun apa yang diperlukan adalah menegakkan semangat teks wahyu dan tujuan-tujuan yang diinginkannya. Tidak pernah menjadi tujuan Tuhan untuk memutuskan hubungan dengan yang transenden dan membawa kebekuan dalam urusan manusia. Fungsi ketuhananlah yang harus membawa pertumbuhan teologis dan pertumbuhan itu membawa serta perubahan. Pertumbuhan dan perubahan sosial demikian membutuhkan perubahan dalam hukum yang mencerminkan realitas sosial zaman permulaan.
Lantas muncul persoalan: Apa yang masih tersisa dari agama yang membentuk hukum-hukum ini? Jawabannya sederhana dan jelas: religiositas. Apakah religiositas itu? Tentu hal ini agak abstrak, namun sama sekali bukan istilah yang mengada-ada. Religiositas menyatakan secara tidak langsung keterlibatan emosi yang tulus dengan visi moral dan spiritual yang menyatakan kepada pengalaman yang agung. Setiap agama jelas menanamkan ke dalam diri pengikutnya suatu visi moral dan spiritual yang unik. Tekanan-tekanan ke arah perubahan tidaklah mempengaruhi keunikan visi ini. Fyzee mendefinisikan keunikan Islam ini dengan tiga karakteristik: Kebenaran (truth), keindahan (beauty) dan kebajikan (goodness).[27] Fyzee mengatakan:
"Islam menekankan kebenaran, keindahan dan kebajikan, nilai-nilai Platonik. Mengenai kebenaran, sedikit sekali peradaban telah menyelamatkan sastra, sains dan filsafat seperti yang telah dilakukan Islam. Ia telah menghasilkan peradaban yang agung. Sarjana-sarjana Islam telah menerjemahkan buku-buku dari bahasa Yunani dan bahasa Sanskerta dan ilmu pengetahuan Islam adalah Bapak ilmu pengetahuan modern. Mengenai keindahan, Islam telah memajukan seni, musik dan arsitektur. Menyangkut kebajikan, Islam memproklamirkan dan mempraktekkan dengan baik persaudaraan manusia. Dengan demikian ia telah membuka jalan bagi konsep demokrasi modern. Ia telah meletakkan fondasi hukum internasional. Pandangan hidupnya diwujudkan di dalam syari'ah, gudang hukum, agama dan etika yang kaya. Syari'ah analog dengan Torah di kalangan orang-orang Yahudi dan Dharma di kalangan orang-orang Hindu."[28]
Tingkat religiositas yang paling agung adalah pencarian terus menerus bentuk-bentuk baru untuk perwujudan visi yang unik ini, baik lewat usaha kreatif maupun kemampuan penalaran. Hukum bersifat empiris, sedangkan visi bersifat transendental. Keseimbangan antara keduanya akan hilang jika terjadi penekanan hanya pada salah satu sisinya. Semata-mata menekankan pada empirisme membuat hukum tidak berlaku. Sebaliknya hanya menekankan aspek transendentalnya saja, membuat ia menjadi terlalu abstrak. Dulu, para ahli hukum Islam yang besar mencapai keseimbangan antara keduanya di pandang dari sudut kenyataan empiris pada masa mereka. Sesuai dengan visi transendental Islam, komponen substantif dari hukum Islam perlu diubah jika perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan sosial menghendakinya. Al-Qur'an menggunakan dua istilah yang sangat bermakna, ma'ruf dan munkar, yang menghadirkan kembali substansi (quintessence) moralitas Islam tanpa dirusak oleh kendala-kendala ruang-waktu.
Ma'ruf adalah sesuatu yang umumnya dapat diterima masyarakat dan munkar adalah sesuatu yang ditolak masyarakat demi menjaga tertib moral. Dengan menggunakan konsep-konsep ini, Al-Qur'an telah membuka peluang yang cukup bagi penafsiran kembali hukum-hukumnya agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan tatanan moral yang baik. Konsep ma'ruf dan munkar akan selalu berubah jika masyarakat berubah, berkembang dan mengalami kemajuan. Ma'ruf dan mungkar merupakan istilah yang sangat komprehensif. Dan keindahan serta keabadian Al-Qur'an terletak dalam pengungkapannya yang abstrak sehingga generasi-generasi penerus dapat mendefinisikannya menurut kebutuhan dan pengalaman mereka. Istilah-istilah ini, yang sangat fundamental bagi ajaran Al-Qur'an, juga cukup komprehensif untuk mencakup moralitas politik. Masyarakat politik (polity) menurut Al-Qur'an adalah masyarakat politik yang berorientasi moral dan dimaksudkan untuk menekankan praktek-praktek politik yang akan menghasilkan kebaikan maksimum bagi masyarakat, yaitu masyarakat Qur'ani yang secara tegas menerima yang ma'ruf dan menolak yang munkar.
Lagi-lagi untuk membangun tatanan sosial yang sehat, Al-Qur'an menggunakan dua istilah lain yang sangat bermakna: mustakbirin dan mustadh'afin yang berarti yang sombong dan yang dilemahkan. Al-Qur'an mengutuk yang pertama dan bersimpati kepada yang kedua. Al-Qur'an menyatakan orang-orang yang sombong (mustakbirin) adalah berdosa.[29] Al-Qur'an juga menegaskan bahwa mustakbirin (mereka yang kuat dan arogan) senantiasa tidak beriman, yakni berdosa karena kufur. Sedangkan mustadh'afin (mereka yang tertindas dan dilemahkan) selalu merupakan kelompok yang pertama beriman, (beriman kepada Tuhan dan melakukan yang ma'ruf). Al-Qur'an menyatakan, "Orang-orang yang menyombongkan diri berkata: "Sesungguhnya kami adalah orang yang tidak percaya pada apa yang kamu imani itu".[30] Dengan demikian mustakbirin dalam bahasa Al-Qur'an adalah orang kafir sejati, sementara mustadh'afin adalah orang mukmin sejati.
Kata kafir merupakan kata yang seringkali disalahartikan. Kata tersebut selalu dipahami dengan pengertian yang tidak sejalan dengan terminologi Al-Qur'an. Selama ini ia selalu digunakan dalam pengertian yang formal sekali. Sesungguhnya kata kafir dalam Al-Qur'an merupakan istilah yang fungsional, bukan formal. Orang kafir yang sesungguhnya adalah orang yang arogan dan penguasa yang menindas, merampas, melakukan perbuatan-perbuatan salah dan tidak menegakkan yang ma'ruf, tetapi sebaliknya membela yang munkar. Demikian juga sebaliknya. Orang mukmin yang sejati, bukan mereka yang hanya mengucapkan kalimat syahadat saja,[31] tetapi mereka yang menegakkan keadilan bagi mereka yang tertindas dan lemah, yang tidak pernah menyalahgunakan posisi kekuasaan mereka atau menindas orang lain atau memeras tenaga orang lain, yang menegakkan kebaikan dan menolak kejahatan.
Dengan demikian masyarakat Qur'ani tidak memberikan tempat bagi penindasan dan pemerasan terhadap yang lemah oleh yang kuat. Perjuangan orang-orang yang lemah (mustadh'afin) akan terus berlangsung melawan mereka yang berkuasa dan arogan (mustakbirin), selama perbedaan antara keduanya tidak dihapuskan. Budaya politik Islam didasarkan pada simpat kepada mereka yang lemah dan dieksploitasi dan benci terhadap mereka yang berkuasa dan menindas. Dr. Habibullah Payman dari Iran mengatakan, "dalam Ideologi Islam permanensi dan kesinambungan revolusi (sampai perbedaan antara yang menindas yang ditindas tidak ada lagi) lebih penting daripada revolusi itu sendiri. Revolusi merupakan salah satu dari beberapa alternatif bagi manusia yang bertanggung jawab. Artinya, manusia harus berusaha mengubah sistem yang didasarkan atas istikbar (keangkuhan kekuasaan dan eksploitasi) dan istidh'af (yakni penekanan dan penindasan) dan penolakan terhadap yang munkar (ketidak-adilan). "Revolusi yang permanen" semacam itu dan perlawanan terhadap arogansi kekuasaan secara terus menerus merupakan bagian dari kultur politik Islam."[32]
Khalifah Ali, salah seorang dari beberapa tokoh terbesar yang dilahirkan Islam pada masa awal, menggambarkan konsep revolusi Islam dengan sangat ringkas dalam salah satu khotbahnya: (Revolusi Islam akan terus berjalan) sampai mereka yang berada dalam status paling rendah di antara kamu menjadi yang paling tinggi dan mereka yang paling tinggi di antara kamu akan menjadi yang paling rendah dan mereka yang melampaui akan dilampaui".[33]
Dasar-dasar masyarakat politik Islam yang ideal, sebagaimana yang diderivasikan dari Al-Qur'an, sangat berbeda dengan apa yang sudah dan masih dilakukan atas nama Islam oleh kelompok kepentingan yang kuat di negara-negara Islam dewasa ini.
Catatan
1 Lihat Qamaruddin Khan, Al-Mawardi's Theory on the State, (Lahore, t.t.), hal. 4
2 Ali Abdul Raziq, Al Islam wa Usul al-Hukm, (Cairo), bandingkan dengan tulisan Islamolog asal Hongaria, Gyula Germanus, Contribution of Islam to World Civilization and Culture, ed. Cyula Wojtilla, (Delhi, 1981) hal. 152.
3 Asghar Ali Engineer, The Origin and Development of Islam, (Bombay, 1980), hal 45-46.
4 Barakat Ahmad, Muhammad and the Jews, A Re-Examination, (Delhi, 1979), hal. 39. Bandingkan dengan Abul A'la Maududi, Islamic Way of Life (Delhi, 1967), hal. 17.
5 Barakat Ahmad, op. cit., hal. 39.
6 R.A. Nicholson, A Literary History of the Arabs, (Cambridge, 1907), hal. 173.
7 Lihat Ibnu Hisyam, Sirah, vol. 1. (Cairo, 1332 A.H.) Lihat juga Alfred Guillaume, The Life of Muhammad: a Translation of Ibn Ishaq's Sira Rasul Allah, (London, 1955).
8 Penting dicatat bahwa 'Ulama Deobandi yang turut serta dalam perjuangan kemerdekaan India bersama dengan partai Indian National Congress, mengambil inspirasi dari dokumen yang luar biasa ini untuk membentuk negara sekuler di India dengan minoritas dijamin hak-haknya untuk memeluk dan mempraktekkan agamanya.
9 Lucio Colleti, From Rousseau to Lenin - Studies in Ideology and Society, (Delhi, 1978), hal. 151-152.
10 Al-Qur'an 4:59.
11 Asghar Ali Engineer, The Islamic State, (Delhi, 1980) hal. 69.
12 Lihat Qmaruddin Khan, Al-Mawardi's Theory of the State, Bazman Iqbal, Lahore, t.t.
13 Al-Qur'an 5:42.
14 Al-Qur'an 2:124.
15 Al-Qur'an 22:45.
16 Al-Qur'an 27:34.
17 Al-Qur'an 26:227.
18 Al-Qur'an 5:8.
19 Al-Qur'an 49:13.
20 Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, Vol. V. hal. 411.
21 Al Fath al-Kabir, Vol. I, hal 208. bandingkan Islam at a Glance, ed. Hakim Abdul Hamid, (Delhi, 1981), "Islam and Human Rights" oleh V.A. Syed Muhammad, hal. 83.
22 Lihat Ibnu Hisyam, Vol. III, (Cairo, 1332 A.H.), hal. 473.
23 Tabari, Tarikh, Vol. III (Cairo, 1362), hal. 150.
24 Syed Abul A'la Maududi, Islamic Riyasat, Dikumpulkan oleh Khursyid Ahmad, Lahore (Lahore, 1974), hal. 129-30.
25 Muhammad al-Khudari, Tarikh at Tasyri' al-Islam, edisi Urdu diterjemahkan oleh Maulana Abdus Salam Nadwi, Azam Garth, 1973, dan Faruq Abu Zayd, As Syari'at al-Islami Bayn al-Muhafizin wa al-Mujaddidin, Cairo, t.t.
26 Dr. Faruq Abu Zayd, op. cit., hal. 21.
27 A.A. Fyzee, A Modern Approach to Islam, Asia Publishing House, (Bombay, 1963), hal. 112.
28 Fyzee, Ibid.
29 Al-Qur'an 7:133.
30 Al-Qur'an 7:76.
31 Formula dasar adalah La ilaha illa Allah, Muhammad Rasulullah, yakni Tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah.
32 Dr. Habibullah Payman, Istidh'af wa Istikbar, Teheran, 1352, hal. 55. Ini adalah terjemahan bebas dari teks Persia.
33 Lihat Ali Bin Abu Thalib, Nahju al-Balaghah, tanda nomor 14 dan 15. Bandingkan dengan Inqilab az Didgah-i-Ali, Teheran, t.t. hal. 20.
by : Mohamad Zaki Hussein
Eksistensi Hukum Islam Dalam Struktur Hukum Nasional Indonesia
Pendahuluan
Dalam proses sejarah terbentuknya hukum nasional Indonesia, hukum Islam merupakan salah satu elemen pendukung selain hukum adat dan hukum Barat. Hukum Islam telah turut serta memberikan kontribusi norma-norma dan nilai-nilai hukum yang berlaku di dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang heterogen. Meskipun perlu disadari pula bahwa mayoritas kuantitas penduduk muslim di suatu negara tidak selalu dapat diasumsikan berarti juga “mayoritas” dalam politik dan kesadaran melaksanakan hukum (Islam).
Kecenderungan masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan bahwa mayoritas muslim ingin semakin menegaskan diri dalam arti kekuasaan politik serta aspirasi pembentukan dan penerapan hukum yang didasarkan dan bersumber pada norma-norma dan nilai-nilai hukum Islam. Indikator yang mencerminkan kecenderungan tersebut dapat dilihat dari lahirnya peraturan perundang-undangan yang dalam ketentuan-ketentuannya menyerap jiwa dan prinsip-prinsip hukum Islam serta melindungi kepentingan umat Islam.
Kecenderungan yang paling signifikan nampak dalam berbagai aspirasi umat Islam yang mengusulkan pencantuman isi Piagam Jakarta dalam UUD 1945 serta penerapan hukum pidana Islam. Hal inilah yang kemudian menimbulkan polemik dalam struktur, substansi, dan budaya hukum di Indonesia yang pada akhirnya menimbulkan permasalahan, “Dapatkah hukum Islam dan hukum nasional hidup berdampingan?”. Untuk menjawab permasalahan ini maka tulisan ini dibuat dalam kerangka pemikiran yang bersifat intersubyektif dimana tujuan utamanya adalah mencoba menjawab permasalahan tersebut.
Hukum Islam, Piagam Madinah, dan UUD 1945
Menurut teori hukum Islam (Ushul Fiqh), hukum Islam terbentuk atas 4 (empat) landasan yaitu Al Qur’an dan Sunnah (landasan materiil), Ijma’ (landasan formal), dan Qiyas (aktivitas penyimpulan analogi yang efisien).
Dalam lingkungan masyarakat Islam sendiri berlaku 3 (tiga) kategori hukum, yaitu:
• Hukum Syariat (terdapat dalam Al Qur’an dan Hadits) yang berkaitan dengan perbuatan subyek hukum, berupa melakukan suatu perbuatan memilih atau menentukan sesuatu sebagai syarat, sebab, atau penghalang;
• Fiqh (Ilmu atau hasil pemahaman para ulama mujtahid) tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat perbuatan yang dipahami dari dalil-dalilnya yang rinci;
• Siyasah Syar’iah (kewenangan Pemerintah/peraturan perundang-undangan) untuk melakukan kebijakan yang dikehendaki kemaslahatan melalui aturan yang tidak bertentangan dengan agama, meskipun tidak ada dalil tertentu.
Adapun mengenai Piagam Madinah, seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa tidak lama setelah Nabi Muhammad Saw hijrah ke Madinah, beliau membuat suatu piagam politik yang merupakan salah satu strategi umat Islam untuk membina kesatuan hidup di antara berbagai golongan warga Madinah. Dalam piagam tersebut dirumuskan aturan-aturan mengenai kebebasan beragama, hubungan antar kelompok, kewajiban mempertahankan hidup, dan sebagainya. Betapa tinggi nilai substansi Piagam Madinah tersebut hingga Almarhum Prof.
Nurcholis Madjid menyatakan:
“...bunyi naskah konstitusi (Piagam Madinah) itu sangat menarik. Piagam tersebut memuat pokok-pokok pikiran yang dari sudut tinjauan modern pun mengagumkan. Dalam konstitusi itulah untuk pertama kalinya dirumuskan ide-ide yang kini menjadi pandangan hidup modern di dunia”.
Dalam kaitan antara Piagam Madinah dengan kehidupan politik di Indonesia, tepatnya pada awal-awal kemerdekaan Republik Indonesia, maka umat Islam di Indonesia pada masa itu juga membentuk kesatuan hidup bersama dengan pemeluk agama lain berdasarkan UUD 1945.
Alamsyah Ratu Perwira Negara (Mantan Menteri Agama RI) berpendapat bahwa penerimaan umat Islam terhadap Pancasila menurut rumusannya yang kompromistis sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang terdapat dalam Alinea IV UUD 1945, merupakan “hadiah” umat Islam bagi persatuan dan kemerdekaan Indonesia. Kedua konstitusi tersebut (Piagam Madinah dan UUD 1945) memiliki banyak kesamaan dalam hal pokok-pokok pemikiran, antara lain bahwa konstitusi merupakan bagian yang sangat penting dalam hidup bermasayarakat dan bernegara, dan juga berdasarkan perbandingan tersebut maka diperoleh kesimpulan bahwa yang paling penting dan harus selalu dipelihara dalam suatu konstitusi suatu masyarakat dan negara adalah sifat Islami, bukan label Islam.
Korelasi Hukum Islam Dengan Hukum Nasional
Tata hukum Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 telah memberikan landasan dan arahan politik hukum terhadap pembangunan bidang agama (hukum agama) dengan jelas.
Menurut Prof. Mochtar Kusumatmadja, sila KeTuhanan Yang Maha Esa pada hakekatnya berisi amanat bahwa tidak boleh ada produk hukum nasional yang bertentangan dengan agama atau bersifat menolak atau bermusuhan dengan agama. Pasal 29 UUD 1945 menegaskan tentang jaminan yang sebaik-baiknya dari Pemerintah dan para penyelenggara negara kepada setiap penduduk agar mereka dapat memeluk dan beribadah menurut agamanya masing-masing.
Hal ini menunjukkan bahwa negara mengakui dan menjunjung tinggi eksistensi agama termasuk hukum-hukumnya, melindungi dan melayani keperluan pelaksanaan hukum-hukum tersebut.
Pola Legislasi
Berkaitan dengan kontribusi hukum Islam dalam hukum nasional di Indonesia maka terdapat 3 (tiga) pola legislasi hukum Islam dalam peraturan perundang-undangan nasional, yaitu:
1. Hukum Islam berlaku untuk setiap warganegara dengan beberapa pengecualian. Pola ini dikenal sebagai pola unifikasi dengan diferensiasi (contoh: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan),
2. Hukum Islam diundangkan dan hanya berlaku bagi umat Islam (contoh: Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh), dan
3. Hukum Islam yang masuk dalam peraturan perundang-undangan nasional dan berlaku untuk setiap warganegara (contoh: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1990 Tentang Kesehatan).
Prospek Hukum Islam Di Indonesia
Berdasarkan keseluruhan dari uraian di atas, maka tidak ada alasan bagi bangsa Indonesia untuk tetap mendiskriminasikan hukum Islam dalam tata hukum nasional dengan alasan eksklusivitas, sebab secara historis hukum Islam dengan segenap pola legislasinya telah teruji, baik eksistensinya maupun efektivitasnya, dalam turut serta menjamin kehidupan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Hukum Islam bukanlah sesuatu yang harus dijadikan momok bagi masyarakat yang adil dan sejahtera karena hal ini telah terbukti sejak periode Piagam Madinah dimana kaidah-kaidah (hukum) Islam dapat menjamin kelangsungan penyelenggaraan negara secara adil dan sejahtera. Untuk mengimplementasikan semua itu tidak harus misalnya dengan menerapkan aturan-aturan pidana Islam di Indonesia ataupun bahkan dengan mengubah Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi Negara Islam, namun yang terpenting bahwa hukum Islam harus dapat menjiwai dan menjadi pondasi utama bagi struktur hukum nasional.
Oleh karena itu, hukum Islam tidak hanya dapat hidup berdampingan dengan hukum nasional, namun hukum Islam juga dapat berperan sebagai pondasi utama dan melengkapi kekurangan-kekurangan hukum nasional.
Penutup dan Kesimpulan
Dalam menghadapi era globalisasi, hukum nasional Indonesia harus mampu menjawab tantangan fenomena global yang futuristik demi menjamin kelangsungan penyelenggaraan kehidupan bernegara secara adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dengan didampingi oleh kaidah-kaidah (hukum) Islam, ditambah dengan nilai-nilai intrinsik dari hukum adat dan modernisasi positif dalam hukum Barat, maka hendaknya hukum nasional bukan lagi merupakan kodifikasi dari aturan-aturan yang ada, melainkan sebagai alat modifikasi bagi terwujudnya kehidupan bernegara di Indonesia secara lebih baik.
Oleh : Reza Fikri Febriansyah, S.H.
Dalam proses sejarah terbentuknya hukum nasional Indonesia, hukum Islam merupakan salah satu elemen pendukung selain hukum adat dan hukum Barat. Hukum Islam telah turut serta memberikan kontribusi norma-norma dan nilai-nilai hukum yang berlaku di dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang heterogen. Meskipun perlu disadari pula bahwa mayoritas kuantitas penduduk muslim di suatu negara tidak selalu dapat diasumsikan berarti juga “mayoritas” dalam politik dan kesadaran melaksanakan hukum (Islam).
Kecenderungan masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan bahwa mayoritas muslim ingin semakin menegaskan diri dalam arti kekuasaan politik serta aspirasi pembentukan dan penerapan hukum yang didasarkan dan bersumber pada norma-norma dan nilai-nilai hukum Islam. Indikator yang mencerminkan kecenderungan tersebut dapat dilihat dari lahirnya peraturan perundang-undangan yang dalam ketentuan-ketentuannya menyerap jiwa dan prinsip-prinsip hukum Islam serta melindungi kepentingan umat Islam.
Kecenderungan yang paling signifikan nampak dalam berbagai aspirasi umat Islam yang mengusulkan pencantuman isi Piagam Jakarta dalam UUD 1945 serta penerapan hukum pidana Islam. Hal inilah yang kemudian menimbulkan polemik dalam struktur, substansi, dan budaya hukum di Indonesia yang pada akhirnya menimbulkan permasalahan, “Dapatkah hukum Islam dan hukum nasional hidup berdampingan?”. Untuk menjawab permasalahan ini maka tulisan ini dibuat dalam kerangka pemikiran yang bersifat intersubyektif dimana tujuan utamanya adalah mencoba menjawab permasalahan tersebut.
Hukum Islam, Piagam Madinah, dan UUD 1945
Menurut teori hukum Islam (Ushul Fiqh), hukum Islam terbentuk atas 4 (empat) landasan yaitu Al Qur’an dan Sunnah (landasan materiil), Ijma’ (landasan formal), dan Qiyas (aktivitas penyimpulan analogi yang efisien).
Dalam lingkungan masyarakat Islam sendiri berlaku 3 (tiga) kategori hukum, yaitu:
• Hukum Syariat (terdapat dalam Al Qur’an dan Hadits) yang berkaitan dengan perbuatan subyek hukum, berupa melakukan suatu perbuatan memilih atau menentukan sesuatu sebagai syarat, sebab, atau penghalang;
• Fiqh (Ilmu atau hasil pemahaman para ulama mujtahid) tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat perbuatan yang dipahami dari dalil-dalilnya yang rinci;
• Siyasah Syar’iah (kewenangan Pemerintah/peraturan perundang-undangan) untuk melakukan kebijakan yang dikehendaki kemaslahatan melalui aturan yang tidak bertentangan dengan agama, meskipun tidak ada dalil tertentu.
Adapun mengenai Piagam Madinah, seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa tidak lama setelah Nabi Muhammad Saw hijrah ke Madinah, beliau membuat suatu piagam politik yang merupakan salah satu strategi umat Islam untuk membina kesatuan hidup di antara berbagai golongan warga Madinah. Dalam piagam tersebut dirumuskan aturan-aturan mengenai kebebasan beragama, hubungan antar kelompok, kewajiban mempertahankan hidup, dan sebagainya. Betapa tinggi nilai substansi Piagam Madinah tersebut hingga Almarhum Prof.
Nurcholis Madjid menyatakan:
“...bunyi naskah konstitusi (Piagam Madinah) itu sangat menarik. Piagam tersebut memuat pokok-pokok pikiran yang dari sudut tinjauan modern pun mengagumkan. Dalam konstitusi itulah untuk pertama kalinya dirumuskan ide-ide yang kini menjadi pandangan hidup modern di dunia”.
Dalam kaitan antara Piagam Madinah dengan kehidupan politik di Indonesia, tepatnya pada awal-awal kemerdekaan Republik Indonesia, maka umat Islam di Indonesia pada masa itu juga membentuk kesatuan hidup bersama dengan pemeluk agama lain berdasarkan UUD 1945.
Alamsyah Ratu Perwira Negara (Mantan Menteri Agama RI) berpendapat bahwa penerimaan umat Islam terhadap Pancasila menurut rumusannya yang kompromistis sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang terdapat dalam Alinea IV UUD 1945, merupakan “hadiah” umat Islam bagi persatuan dan kemerdekaan Indonesia. Kedua konstitusi tersebut (Piagam Madinah dan UUD 1945) memiliki banyak kesamaan dalam hal pokok-pokok pemikiran, antara lain bahwa konstitusi merupakan bagian yang sangat penting dalam hidup bermasayarakat dan bernegara, dan juga berdasarkan perbandingan tersebut maka diperoleh kesimpulan bahwa yang paling penting dan harus selalu dipelihara dalam suatu konstitusi suatu masyarakat dan negara adalah sifat Islami, bukan label Islam.
Korelasi Hukum Islam Dengan Hukum Nasional
Tata hukum Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 telah memberikan landasan dan arahan politik hukum terhadap pembangunan bidang agama (hukum agama) dengan jelas.
Menurut Prof. Mochtar Kusumatmadja, sila KeTuhanan Yang Maha Esa pada hakekatnya berisi amanat bahwa tidak boleh ada produk hukum nasional yang bertentangan dengan agama atau bersifat menolak atau bermusuhan dengan agama. Pasal 29 UUD 1945 menegaskan tentang jaminan yang sebaik-baiknya dari Pemerintah dan para penyelenggara negara kepada setiap penduduk agar mereka dapat memeluk dan beribadah menurut agamanya masing-masing.
Hal ini menunjukkan bahwa negara mengakui dan menjunjung tinggi eksistensi agama termasuk hukum-hukumnya, melindungi dan melayani keperluan pelaksanaan hukum-hukum tersebut.
Pola Legislasi
Berkaitan dengan kontribusi hukum Islam dalam hukum nasional di Indonesia maka terdapat 3 (tiga) pola legislasi hukum Islam dalam peraturan perundang-undangan nasional, yaitu:
1. Hukum Islam berlaku untuk setiap warganegara dengan beberapa pengecualian. Pola ini dikenal sebagai pola unifikasi dengan diferensiasi (contoh: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan),
2. Hukum Islam diundangkan dan hanya berlaku bagi umat Islam (contoh: Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh), dan
3. Hukum Islam yang masuk dalam peraturan perundang-undangan nasional dan berlaku untuk setiap warganegara (contoh: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1990 Tentang Kesehatan).
Prospek Hukum Islam Di Indonesia
Berdasarkan keseluruhan dari uraian di atas, maka tidak ada alasan bagi bangsa Indonesia untuk tetap mendiskriminasikan hukum Islam dalam tata hukum nasional dengan alasan eksklusivitas, sebab secara historis hukum Islam dengan segenap pola legislasinya telah teruji, baik eksistensinya maupun efektivitasnya, dalam turut serta menjamin kehidupan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Hukum Islam bukanlah sesuatu yang harus dijadikan momok bagi masyarakat yang adil dan sejahtera karena hal ini telah terbukti sejak periode Piagam Madinah dimana kaidah-kaidah (hukum) Islam dapat menjamin kelangsungan penyelenggaraan negara secara adil dan sejahtera. Untuk mengimplementasikan semua itu tidak harus misalnya dengan menerapkan aturan-aturan pidana Islam di Indonesia ataupun bahkan dengan mengubah Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi Negara Islam, namun yang terpenting bahwa hukum Islam harus dapat menjiwai dan menjadi pondasi utama bagi struktur hukum nasional.
Oleh karena itu, hukum Islam tidak hanya dapat hidup berdampingan dengan hukum nasional, namun hukum Islam juga dapat berperan sebagai pondasi utama dan melengkapi kekurangan-kekurangan hukum nasional.
Penutup dan Kesimpulan
Dalam menghadapi era globalisasi, hukum nasional Indonesia harus mampu menjawab tantangan fenomena global yang futuristik demi menjamin kelangsungan penyelenggaraan kehidupan bernegara secara adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dengan didampingi oleh kaidah-kaidah (hukum) Islam, ditambah dengan nilai-nilai intrinsik dari hukum adat dan modernisasi positif dalam hukum Barat, maka hendaknya hukum nasional bukan lagi merupakan kodifikasi dari aturan-aturan yang ada, melainkan sebagai alat modifikasi bagi terwujudnya kehidupan bernegara di Indonesia secara lebih baik.
Oleh : Reza Fikri Febriansyah, S.H.
DEFINISI POLITIK DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Pada pesta Demokrasi sekarang ini hampir bisa dipastikan setiap orang pasti ingin berpartisipasi minimal sebagai “suporter”. Namun di balik gegap gempita nya pesta tersebut ada sebagian orang yang justru secara sengaja atau tidak untuk keluar atau dengan kata lain bersikap tidak peduli (apatis) dengan alasan bahwa politik itu kotor sedangkan agama adalah wilayah yang sakral
Dan hal ini semakin sering kita dengar seiring banyaknya “kader-kader/petinggi-petinggi” yang menjadi calon wakil presiden dimana organisasi tersebut langsung mengambil keputusan agar cawapres tersebut untuk keluar atau dengan tidak mengatasnamakan “partai”. Terlepas dari pernyataan tersebut diatas, ada dua pertanyaan yang sekiranya bisa kita ajukan: pertama, apa sebenarnya definisi dari politik? Kedua, haruskah umat Islam terjun ke dalam dunia politik?
Pengertian Politik yang Benar (Sesuai Dengan Syara)
Politik, realitanya pasti berhubungan dengan masalah mengatur urusan rakyat baik oleh negara maupun rakyat. Sehingga definisi dasar menurut realita dasar ini adalah netral. Hanya saja tiap ideologi (kapitalisme, sosialisme, dan Islam) punya pandangan tersendiri tentang aturan dan hukum mengatur sistem politik mereka. Dari sinilah muncul pengertian politik yang mengandung pandangan hidup tertentu dan tidak lagi “netral”.
Adapun definisi politik dari sudut pandang Islam adalah pengaturan urusan-urusan (kepentingan) umat baik dalam negeri maupun luar negeri berdasarkan hukum-hukum Islam. Pelakunya bisa negara (khalifah) maupun kelompok atau individu rakyat.
Rasulullah saw bersabda:
“Adalah Bani Israel, para Nabi selalu mengatur urusan mereka. Setiap seorang Nabi meninggal, diganti Nabi berikutnya. Dan sungguh tidak ada lagi Nabi selainku. Akan ada para Khalifah yang banyak” (HR Muslim dari Abu Hurairah ra).
Hadits diatas dengan tegas menjelaskan bahwa Khalifahlah yang mengatur dan mengurus rakyatnya (kaum Muslim) setelah nabi saw.
Hal ini juga ditegaskan dalam hadits Rasulullah:
“Imam adalah seorang penggembala dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya”.
Jadi, esensi politik dalam pandangan Islam adalah pengaturan urusan-urusan rakyat yang didasarkan kepada hukum-hukum Islam.
Adapun hubungan antara politik dan Islam secara tepat digambarkan oleh Imam al-Ghajali: “Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan runtuh dan segala sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang dan lenyap”.
Berbeda dengan pandangan Barat politik diartikan sebatas pengaturan kekuasaan, bahkan menjadikan kekuasaan sebagai tujuan dari politik. Akibatnya yang terjadi hanyalah kekacauan dan perebutan kekuasaan, bukan untuk mengurusi rakyat. Hal ini bisa kita dapati dari salah satu pendapat ahli politik di barat, yaitu Loewenstein yang berpendapat “politic is nicht anderes als der kamps um die Macht” (politik tidak lain merupakan perjuangan kekuasaan).
Wajib Berpolitik Bagi Setiap Muslim
Berpolitik adalah kewajiban bagi setiap Muslim baik itu laki-laki maupun perempuan. Adapun dalil yang menunjukkan itu antara lain:
Pertama, dalil-dalil syara telah mewajibkan bagi kaum Muslim untuk mengurus urusannya berdasarkan hukum-hukum Islam. Sebagai pelaksana praktis hukum syara, Allah SWT telah mewajibkan adanya ditengah-tengah kaum Muslim pemerintah Islam yang menjalankan urusan umat berdasarkan hukum syara.
Firman Allah SWT yang artinya:
“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan oleh Allah SWT dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu” (TQS. Al-Maidah [105]:48)
kedua, syara telah mewajibkan kaum Muslim untuk hirau terhadap urusan umat sehingga keberlangsungan hukum syara bisa terjamin. karenanya dalam Islam ada kewajiban untuk mengoreksi penguasa (muhasabah li al-hukkam).
Kewajiban ini didasarkan kepada Firman Allah SWT yang artinya:
“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung” (TQS. Ali Imran [03]: 104).
Penutup
Dengan demikian, hubungan Islam dan politik adalah jelas. Melalaikan diri dari aktivitas politik Islam juga jelas bahayanya bagi kaum Muslim. Inilah saatnya kaum Muslim bangkit dari tidurnya yang panjang, berjuang secara politik untuk melawan penjajah yang selama ini telah menindas mereka. Dan disinilah latek penting bagi kaum Muslim mempelajari lebih jauh politik Islam. Dan tentu saja setelah itu, terjun langsung dalam masalah politik, tidak hanya diam dan menunggu datangnya pertolongan Allah SWT.
Dan hal ini semakin sering kita dengar seiring banyaknya “kader-kader/petinggi-petinggi” yang menjadi calon wakil presiden dimana organisasi tersebut langsung mengambil keputusan agar cawapres tersebut untuk keluar atau dengan tidak mengatasnamakan “partai”. Terlepas dari pernyataan tersebut diatas, ada dua pertanyaan yang sekiranya bisa kita ajukan: pertama, apa sebenarnya definisi dari politik? Kedua, haruskah umat Islam terjun ke dalam dunia politik?
Pengertian Politik yang Benar (Sesuai Dengan Syara)
Politik, realitanya pasti berhubungan dengan masalah mengatur urusan rakyat baik oleh negara maupun rakyat. Sehingga definisi dasar menurut realita dasar ini adalah netral. Hanya saja tiap ideologi (kapitalisme, sosialisme, dan Islam) punya pandangan tersendiri tentang aturan dan hukum mengatur sistem politik mereka. Dari sinilah muncul pengertian politik yang mengandung pandangan hidup tertentu dan tidak lagi “netral”.
Adapun definisi politik dari sudut pandang Islam adalah pengaturan urusan-urusan (kepentingan) umat baik dalam negeri maupun luar negeri berdasarkan hukum-hukum Islam. Pelakunya bisa negara (khalifah) maupun kelompok atau individu rakyat.
Rasulullah saw bersabda:
“Adalah Bani Israel, para Nabi selalu mengatur urusan mereka. Setiap seorang Nabi meninggal, diganti Nabi berikutnya. Dan sungguh tidak ada lagi Nabi selainku. Akan ada para Khalifah yang banyak” (HR Muslim dari Abu Hurairah ra).
Hadits diatas dengan tegas menjelaskan bahwa Khalifahlah yang mengatur dan mengurus rakyatnya (kaum Muslim) setelah nabi saw.
Hal ini juga ditegaskan dalam hadits Rasulullah:
“Imam adalah seorang penggembala dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya”.
Jadi, esensi politik dalam pandangan Islam adalah pengaturan urusan-urusan rakyat yang didasarkan kepada hukum-hukum Islam.
Adapun hubungan antara politik dan Islam secara tepat digambarkan oleh Imam al-Ghajali: “Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan runtuh dan segala sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang dan lenyap”.
Berbeda dengan pandangan Barat politik diartikan sebatas pengaturan kekuasaan, bahkan menjadikan kekuasaan sebagai tujuan dari politik. Akibatnya yang terjadi hanyalah kekacauan dan perebutan kekuasaan, bukan untuk mengurusi rakyat. Hal ini bisa kita dapati dari salah satu pendapat ahli politik di barat, yaitu Loewenstein yang berpendapat “politic is nicht anderes als der kamps um die Macht” (politik tidak lain merupakan perjuangan kekuasaan).
Wajib Berpolitik Bagi Setiap Muslim
Berpolitik adalah kewajiban bagi setiap Muslim baik itu laki-laki maupun perempuan. Adapun dalil yang menunjukkan itu antara lain:
Pertama, dalil-dalil syara telah mewajibkan bagi kaum Muslim untuk mengurus urusannya berdasarkan hukum-hukum Islam. Sebagai pelaksana praktis hukum syara, Allah SWT telah mewajibkan adanya ditengah-tengah kaum Muslim pemerintah Islam yang menjalankan urusan umat berdasarkan hukum syara.
Firman Allah SWT yang artinya:
“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan oleh Allah SWT dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu” (TQS. Al-Maidah [105]:48)
kedua, syara telah mewajibkan kaum Muslim untuk hirau terhadap urusan umat sehingga keberlangsungan hukum syara bisa terjamin. karenanya dalam Islam ada kewajiban untuk mengoreksi penguasa (muhasabah li al-hukkam).
Kewajiban ini didasarkan kepada Firman Allah SWT yang artinya:
“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung” (TQS. Ali Imran [03]: 104).
Penutup
Dengan demikian, hubungan Islam dan politik adalah jelas. Melalaikan diri dari aktivitas politik Islam juga jelas bahayanya bagi kaum Muslim. Inilah saatnya kaum Muslim bangkit dari tidurnya yang panjang, berjuang secara politik untuk melawan penjajah yang selama ini telah menindas mereka. Dan disinilah latek penting bagi kaum Muslim mempelajari lebih jauh politik Islam. Dan tentu saja setelah itu, terjun langsung dalam masalah politik, tidak hanya diam dan menunggu datangnya pertolongan Allah SWT.
Teori Politik Islam
oleh Dr. Dhiauddun Rais
Pasal Pertama: Pembentukan Negara Islam
Pendahuluan
Di antara fenomena yang disadari oleh sebagian pengkaji teori-teori politik secara umum, adalah: adanya hubungan yang erat antara timbulnya pemikiran-pemikiran politik dengan perkembangan kejadian-kejadian historis (1). Jika fenomena itu benar bagi suatu jenis atau madzhab pemikiran tertentu, dalam bidang pemikiran apapun, hal itu bagi pertumbuhan dan perkembangan teori-teori politik Islam amatlah jelas benarnya. Teori-teori ini ---terutama pada fase-fase pertumbuhan pertamanya-- berkaitan amat erat dengan kejadian-kejadian sejarah Islam. Hingga hal itu harus dilihat seakan-akan keduanya adalah seperti dua sisi dari satu mata uang. Atau dua bagian yang saling melengkapi satu sama lain. Sifat hubungan di antara keduanya berubah-ubah: terkadang pemikiran-pemikiran itu tampak menjadi penggerak terjadinya berbagai kejadian, dan terkadang pula kejadian-kejadian itu menjadi pendorong atau rahim yang melahirkan pendapat-pendapat itu. Kadang-kadang suatu teori hanyalah sebuah bias dari kejadian yang berlangsung pada masa lalu. Atau suatu kesimpulan yang dihasilkan melalui perenungan atas suatu pendapat yang telah diakui pada masa sebelumnya. Atau bisa pula hubungan itu berbentuk lain.
Karena adanya hubungan antara dua segi ini, segi teoretis dan realistis, maka jelaslah masing-masing dari kedua hal itu tidak dapat dipahami tanpa keberadaan yang lain. Metode terbaik untuk mempelajari teori-teori ini adalah dengan mengkajinya sambil diiringi dengan realitas-realitas sejarah yang berkaitan dengannya. Secara berurutan sesuai dengan fase-fase perkembangan historisnya ---yang sekaligus merupakan runtutan alami dan logisnya. Sehingga dapat dipahami hakikat hubungan yang mengkaitkan antara dua segi, dapat memperjelas pendapat-pendapat, dan dapat menunjukkan bumi yang menjadi tempat tumbuhnya masing-masing pemikiran hingga berbuah, dan mencapai kematangannya. Inilah metode yang akan kami gunakan.
Era Kenabian
Era ini merupakan era pertama dalam sejarah Islam. Yaitu dimulai semenjak Rasulullah Saw memulai berdakwah mengajak manusia untuk menyembah Allah SWT hingga meninggalnya beliau. Era ini paling baik jika kita namakan sebagai era "kenabian" atau "wahyu". Karena era itu memiliki sifat tertentu yang membedakannya dari era-era yang lain. Ia merupakan era ideal yang padanya ideal-ideal Islam terwujudkan dengan amat sempurna.
Era ini terbagi menjadi dua masa, yang keduanya dipisahkan oleh hijrah. Kedua fase itu tidak memiliki perbedaan dan kelainan satu sama lain, seperti yang diklaim oleh beberapa orientalis (2). Bahkan fase yang pertama merupakan fase yang menjadi titik tolak bagi fase kedua. Pada fase pertama, embrio 'masyarakat Islam' mulai tumbuh, dan telah ditetapkan kaidah-kaidah pokok Islam secara general. Kemudian pada fase kedua bangun 'masyarakat Islam' itu berhasil dibentuk, dan kaidah-kaidah yang sebelumnya bersifat general selesai dijabarkan secara mendetail. Syari'at Islam disempurnakan dengan mendeklarasikan prinsip-prinsip baru, dan dimulailah pengaplikasian dan pelaksanaan prinsip-prinsip itu seluruhnya. Sehingga tampillah Islam dalam bentuk sosialnya secara integral dan aktif, yang semuanya menuju kepada tujuan-tujuan yang satu.
Sejarah, dalam pandangan politik, lebih terpusat pada fase kedua dibandingkan dengan fase pertama. Karena saat itu jama'ah Islam telah menemukan kediriannya, dan telah hidup dalam era kebebasan dan independensi. Ia juga telah meraih 'kedaulatan'nya, secara penuh. Sehingga prinsip-prinsip Islam sudah dapat diletakkan dalam langkah-langkah praksis. Namun, dalam pandangan sejarah, ciri terbesar yang menandai kedua fase itu adalah sifatnya sebagai fase 'pembentukan', dan fase pembangunan dan permulaan. Fase ini memiliki urgensitas yang besar dalam menentukan arah kejadian-kejadian historis selanjutnya, dan sebagai peletak rambu-rambu yang diikuti oleh generasi-generasi berikutnya sepanjang sejarah. Sedangkan dari segi pemikiran teoritis, pengaruhnya terbatas pada kenyataannya sebagai ruh umum yang terus memberikan ilham terhadap pemikiran ini, memberikan contoh atau teladan ideal yang menjadi rujukan pemikiran-pemikiran itu, meskipun pemikiran-pemikiran itu berbeda satu sama lain, dan memberikan titik pertemuan bagi pendapat-pendapat dan madzhab-madzhab yang berbeda. Sedangkan selain itu, ia tidak memiliki hubungan dengan tumbuhnya pendapat-pendapat parsial yang memiliki kekhasan masing-masing. Terutama jika objek kajiannya adalah analisis terhadap sistem umum yang menjadi platform kenegaraan ummat, atau tentang hubungan-hubungan yang terdapat di dalamnya, atau analisis terhadap salah satu sifatnya. Atau dengan kata lain, analisis terhadap masalah-masalah yang dinamakan sebagai 'politik'. Karena pendapat-pendapat personal itu tidak tumbuh dalam satu atmospir. Namun pendapat-pendapat itu tampil seiring dengan terjadinya perbedaan pendapat dan kecenderungan-kecenderungan. Yang mendorong timbulnya pendapat-pendapat itu juga adalah adanya perasaan kurang sempurna yang ada di tengah masyarakat, dan keinginan untuk mengoreksi sistem atau perilaku-perilaku yang sedang berlangsung. Sedangkan jika suatu sistem telah sempurna, yang mencerminkan prinsip-prinsip agung yang diamini oleh seluruh anggota jama'ah (ummat), dan adanya persatuan yang terwujud di antara individu-individu, kemudian mereka menyibukkan diri mereka untuk berbicara dan berdebat tentang agenda-agenda kerja yang besar, niscaya tidak diperlukan sama sekali tumbuhnya pendapat-pendapat individu atau tampil 'teori-teori'.
Demikianlah, era Rasulullah Saw mencerminkan era persatuan, usaha dan pendirian bangunan umat. Serta menampilkan ruh yang mewarnai kehidupan politik, dan mewujudkan replika bangunan masyarakat yang ideal untuk diteladani dan ditiru oleh generasi-generasi yang datang kemudian. Namun, 'pemikiran teoritis' saat itu belum dimulai. Hal ini tentu amat logis dengan situasi yang ada. Yang jelas, belum ada kebutuhan terhadap hal itu. Namun demikian, belum lagi era tersebut berakhir, sudah timbul faktor-faktor fundamental yang niscaya mendorong timbulnya pemikiran ini, dan membentuk 'teori-teori politik' secara lengkap. Di antara faktor-faktor yang terpenting ada tiga hal: pertama, sifat sistem sosial yang didirikan oleh Rasulullah Saw. Kedua, pengakuan akan prinsip kebebasan berpikir untuk segenap individu. Ketiga, penyerahan wewenang kepada umat untuk merinci detail sistem ini, seperti tentang metode manajerialnya, dan penentuan beberapa segi formatnya. Kami perlu menjelaskan lebih lanjut tentang faktor-faktor ini.
Islam dan Politik
Sistem yang dibangun oleh Rasulullah Saw dan kaum mukminin yang hidup bersama beliau di Madinah --jika dilihat dari segi praksis dan diukur dengan variabel-variabel politik di era modern-- tidak disangsikan lagi dapat dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem politik par excellence. Dalam waktu yang sama, juga tidak menghalangi untuk dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem religius, jika dilihat dari tujuan-tujuannya, motivasinya, dan fundamental maknawi tempat sistem itu berpijak.
Dengan demikian, suatu sistem dapat menyandang dua karakter itu sekaligus. Karena hakikat Islam yang sempurna merangkum urusan-urusan materi dan ruhani, dan mengurus perbuatan-perbuatan manusia dalam kehidupannya di dunia dan akhirat. Bahkan filsafat umumnya merangkum kedua hal itu, dan tidak mengenal pemisahan antara keduanya, kecuali dari segi perbedaan pandangan. Sedangkan kedua hal itu sendiri, keduanya menyatu dalam kesatuan yang tunggal secara solid; saling beriringan dan tidak mungkin terpisah satu sama lain. Fakta tentang sifat Islam ini amat jelas, sehingga tidak membutuhkan banyak kerja keras untuk mengajukan bukti-bukti. Hal itu telah didukung oleh fakta-fakta sejarah, dan menjadi keyakinan kaum Muslimin sepanjang sejarah yang telah lewat. Namun demikian, ada sebagian umat Islam sendiri, yang mengklaim diri mereka sebagai 'kalangan pembaru', dengan terang-terangan mengingkari fakta ini!. Mereka mengklaim bahwa Islam hanyalah sekadar 'dakwah agama' (3): maksud mereka adalah, Islam hanyalah sekadar keyakinan atau hubungan ruhani antara individu dengan Rabb-nya. Dan dengan demikian tidak memiliki hubungan sama sekali dengan urusan-urusan yang kita namakan sebagai urusan materi dalam kehidupan dunia ini. Di antara urusan-urusan ini adalah: masalah-masalah peperangan dan harta, dan yang paling utama adalah masalah politik. Di antara perkataan mereka adalah: "agama adalah satu hal, dan politik adalah hal lain".
Untuk mengcounter pendapat mereka, tidak ada manfaatnya jika kami mendedahkan pendapat-pendapat ulama Islam; karena mereka tidak mau mendengarkannya. Juga kami tidak memulainya dengan mengajukan fakta-fakta sejarah, karena mereka dengan sengaja telah mencampakkannya!. Oleh karena itu, cukuplah kami kutip beberapa pendapat orientalis dalam masalah ini, dan mereka telah mengutarakan hal itu dengan redaksi yang jelas dan tegas. Hal itu kami lakukan karena para 'pembaru-pembaru' itu tidak dapat mengklaim bahwa mereka lebih modern dari para orientalis itu, juga tidak dapat mengklaim bahwa mereka lebih mampu dalam menggunakan metode-metode riset modern, dan penggunaan metode-metode ilmiah. Di antara pendapat-pendapat para orientalis itu adalah sebagai berikut:
1. Dr. V. Fitzgerald (4) berkata: "Islam bukanlah semata agama (a religion), namun ia juga merupakan sebuah sistem politik (a political system). Meskipun pada dekade-dekade terakhir ada beberapa kalangan dari umat Islam, yang mengklaim diri mereka sebagai kalangan 'modernis', yang berusaha memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh gugusan pemikiran Islam dibangun di atas fundamental bahwa kedua sisi itu saling bergandengan dengan selaras, yang tidak dapat dapat dipisahkan satu sama lain".
2. Prof. C. A. Nallino (5) berkata: "Muhammad telah membangun dalam waktu bersamaan: agama (a religion) dan negara (a state). Dan batas-batas teritorial negara yang ia bangun itu terus terjaga sepanjang hayatnya".
3. Dr. Schacht berkata (6): " Islam lebih dari sekadar agama: ia juga mencerminkan teori-teori perundang-undangan dan politik. Dalam ungkapan yang lebih sederhana, ia merupakan sistem peradaban yang lengkap, yang mencakup agama dan negara secara bersamaan".
4. Prof. R. Strothmann berkata (7): "Islam adalah suatu fenomena agama dan politik. Karena pembangunnya adalah seorang Nabi, yang juga seorang politikus yang bijaksana, atau "negarawan".
5. Prof D.B. Macdonald berkata (8): "Di sini (di Madinah) dibangun negara Islam yang pertama, dan diletakkan prinsip-prinsip utama undang-undang Islam".
6. Sir. T. Arnold berkata (9): " Adalah Nabi, pada waktu yang sama, seorang kepala agama dan kepala negara".
7. Prof. Gibb berkata (10): "Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam bukanlah sekadar kepercayaan agama individual, namun ia meniscayakan berdirinya suatu bangun masyarakat yang independen. Ia mempunyai metode tersendiri dalam sistem kepemerintahan, perundang-undangan dan institusi".
Bukti Sejarah
Seluruh pendapat-pendapat tadi diperkuat oleh fakta-fakta sejarah : di antara fakta sejarah yang tidak dapat diingkari oleh siapapun adalah, setelah timbulnya dakwah Islam, kemudian terbentuk bangunan masyarakat baru yang mempunyai identitas independen yang membedakannya dari masyarakat lain. Mengakui satu undang-undang, menjalankan kehidupannya sesuai dengan sistem yang satu, menuju kepada tujuan-tujuan yang sama, dan di antara individu-individu masyarakat yang baru itu terdapat ikatan ras, bahasa, dan agama yang kuat, serta adanya perasaan solidaritas secara umum. Bangunan masyarakat yang memiliki semua unsur-unsur tadi itulah yang dinamakan sebagai bangunan masyarakat 'politik'. Atau yang dinamakan sebagai 'negara'. Tentang negara, tidak ada suatu definisi tertentu, selain aanya fakta terkumpulnya karakteristik-karakteristi yang telah disebutkan tadi dalam suatu bangunan masyarakat.
Di antara fakta-fakta sejarah yang tidak diperselisihkan juga adalah, bangunan masyarakat politik ini atau 'negara', telah memulai kehidupan aktifnya, dan mulai menjalankan tugas-tugasnya, dan merubah prinsip-prinsip teoritis menuju dataran praksis. Setelah tersempurnakan kebebasan dan kedaulatannya, dan kepadanya dimasukkan unsur-unsur baru dan adanya penduduk. Yaitu setelah pembacaan bai'at Aqabah satu dan dua, yang dilakukan antara Rasulullah Saw dengan utusan dari Madinah, yang dilanjutkan dengan peristiwa hijrah. Para faktanya, kedua bai'at ini --yang tidak diragukan oleh seorangpun tentang berlangsungnya kedua bai'at ini-- merupakan suatu titik transformasi dalam Islam (11). Dan peristiwa hijrah hanyalah salah satu hasil yang ditelurkan oleh kedua peristiwa bai'at itu. Pandangan yang tepat terhadap kedua bai'at tadi adalah dengan melihatnya sebagai batu pertama dalam bangunan 'negara Islam'. Dari situ akan tampak urgensitas kedua hal itu. Alangkah miripnya kedua peristiwa bai'at itu dengan kontrak-kontrak sosial yang di deskripsikan secara teoritis oleh sebagian filosof politik pada era-era modern. Dan menganggapnya sebagai fondasi bagi berdirinya negara-negara dan pemerintahan. Namun bedanya, 'kontrak sosial' yang dibicarakan Roussou dan sejenisnya hanyalah semata ilusi dan imajinasi, sementara kontrak sosial yang terjadi dalam sejarah Islam ini berlangsung dua kali secara realistis di Aqabah. Dan di atas kontrak sosial itu negara Islam berdiri. Ia merupakan sebuah kontrak historis. Ini merupakan suatu fakta yang diketahui oleh semua orang. Padanya bertemu antara keinginan-keinginan manusiawi yang merdeka dengan pemikiran-pemikiran yang matang, dengan tujuan untuk mewujudkan risalah yang mulia.
Dengan demikian, negara Islam terlahirkan dalam keadaan yang amat jelas. Dan pembentukannya terjadi dalam tatapan sejarah yang jernih. Karena Tidak ada satu tindakan yang dikatakan sebagai tindakan politik atau kenegaraan, kecuali dilakukan oleh negara Islam yang baru tumbuh ini. Seperti Penyiapan perangkat untuk mewujudkan keadilan, menyusun kekuatan pertahanan, mengadakan pendidikan, menarik pungutan harta, mengikat perjanjian atau mengirim utusan-utusan ke luar negeri. Ini merupakan fakta sejarah yang ketiga. Adalah mustahil seseorang mengingkarinya. Kecuali jika kepadanya dibolehkan untuk mengingkari suatu fakta sejarah yang terjadi di masa lalu, dan yang telah diterima kebenarannya oleh seluruh manusia. Dari fakta-fakta yang tiga ini --yang telah kami sebutkan-- terbentuk bukti sejarah yang menurut kami dapat kami gunakan sebagai bukti --di samping pendapat kalangan orientalis yang telah disitir sebelumnya-- atas sifat politik sistem Islam. Jika telah dibuktikan, dengan cara-cara yang telah kami gunakan tadi, bahwa sistem Islam adalah sistem politik, dengan demikan maka terwujudlah syarat pertama yang mutlak diperlukan bagi keberadaan pemikiran politik. Karena semua pemikiran tentang hal ini: baik tentang pertumbuhannya, hakikatnya, sifat-sifatnya atau tujuan-tujuannya, niscaya ia menyandang sifat ini, yaitu sifatnya sebagai suatu pemikiran politik. Syarat ini merupakan faktor yang terpenting dalam pertumbuhan pemikiran ini. Bahkan ia merupakan landasan berpijak bagi kerangka-kerangka teoritis dan aliran-aliran pemikiran yang beragam. Oleh karena itu, amatlah logis jika kami curahkan seluruh perhatian ini untuk meneliti dan menjelaskannya.
Catatan kaki:
(1) Di antara tokoh yang mengatakan hal itu adalah Prof. J.N. Figgis dalam buku "The Divine Right of Kings --yang dengan bukunya itu ia mendapatkan salah satu penghargaan sastra yang besar-- , dalam beberapa tempat dari bukunya itu, ia membuktikan bahwa teori itu lahir akibat situasi dan kondisi yang berlangsung pada saat itu. Di antara ungkapannya itu adalah yang ia tulis dalam pendahuluan bukunya itu: "Teori ini lebih tepat dikatakan sebagai akibat dari realitas yang ada, ketimbang sebagai buah pemikiran murni", hal. 6.
J. Matters juga mengatakan dalam bukunya "Concepts of State, Sovereignty and International Law", p.2, sebagai berikut: "ini adalah fakta yang penting, meskipun tidak diketahui oleh banyak orang: bahwa teori-teori yang ditelurkan oleh Hocker, Hobbes, Locke, dan Roussou merupakan hasil dari kecenderungan-kecenderungan politik mereka, dan perhatian mereka terhadap hasil peperangan-pepernagan agama dan politik, yang --secara berturut-turut--terjadi pada zaman mereka, di negara-negara mereka, atau di negara-negara yang menjadi perhatian mereka".
(2) Di antara klaim-klaim yang salah, yang didengung-dengungkan oleh banyak orientalis adalah: bahwa peristiwa hijrah merupakan permulaan era baru. Maksudnya, ia merupakan starting point terjadinya perubahan fundamental, yang tidak saja terlihat dalam pergeseran sifat kejadian-kejadian yang berlangsung setelahnya, namun juga pada karakteristik Islam itu sendiri, prinsip-prinsip yang diajarkan olehnya, serta dalam lingkup kejiwaan Rasulullah Saw dan tujuan-tujuan beliau. Untuk membuktikan klaim itu, mereka melakukan komparasi antara kehidupan Rasulullah Saw yang bersifat menyerah dan mengalah di Mekkah dengan kehidupan jihad dan revolusi di Madinah!. Untuk membantah klaim ini, kita cukup berdalil dengan fakta bahwa tidak kontradiksi antara kedua priode kehidupan Rasulullah Saw itu (priode Mekkah dan madinah), dan priode kedua tak lebih dari kontiunitas periode pertama. Dan perbedaan yang ada hanyalah terletak pada kondisi dan faktor-faktor penggerak kejadian; setiap kali ada fenomena tertentu yang signifikan, saat itu pula timbul dimensi baru dalam kehidupan Islam.
Namun kita cukup mengutip apa yang dikatakan oleh seorang tokoh orientalis yang besar, yaitu Prof. H.A.R. Gibb. Ia berkata dalam bukunya yang berbicara tentang Islam "Muhammedanism", p. 27, in the Series (H.U.L), 1949, sebagai berikut:
"Peristiwa hijrah sering dilihat sebagai starting point transformasi menuju era baru dalam kehidupan Muhammad dan penerusnya; namun pembandingan secara mutlak yang biasanya dilakukan antara pribadi seorang Rasul yang tidak terkenal dan tertindas di Mekkah, dengan pribadi seorang mujahid [Muhammad] dalam membela aqidah di Madinah, tidak memiliki landasannya dalam sejarah. Tidak ada perubahan dalam pandangan Muhammad tentang misinya atau kesadarannya terhadap misinya itu. Meskipun dalam segi pisik tampak gerakan Islam dalam bentuk yang baru, namun hal itu hanyalah bersifat sebagai penampakkan sesuatu yang sebelumnya tertutup, dan pendeklarasian sesuatu yang sebelumnya disembunyikan. Adalah suatu pemikiran Rasul yang tetap -- seperti yang juga dilihat oleh musuhnya dalam memandang masyarakat agama baru yang didirikan olehnya itu-- bahwa dia akan mendirikan suatu bangunan politik; sama sekali bukan sekadar bentuk agama yang terpisah dari dan terletak di bawah kekuasaan pemerintahan duniawi. Dia selalu menegaskan, saat menjelaskan sejarah risalah-risalah rasul sebelumnya, bahwa ini (pendirian negara) merupakan salah satu tujuan utama diutusnya rasul-rasul oleh Tuhan. Dengan demikian, sesuatu hal baru yang terjadi di Madinah --hanyalah-- berupa: jama'ah Islam telah mengalami transformasi dari fase teoritis ke fase praksis".
(3) Diantara tokoh mengusung pendapat ini dan membelanya adalah Ali Abdurraziq, mantan hakim pengadilan agama di Manshurah, dan mantan menteri perwakafan, dalam bukunya yang dipublikasikan pada tahun 1925, dan berjudul: Al Islam wa Ushul al Hukm. Di samping bantahan-bantahan yang kami ketengahkan saat ini, kami akan kembali mendiskusikn pendapat-pendapatnya dan memberikan bantahan atasnya nanti secara lebih terperinci dalam pasal-pasal berikutnya. (lihat, terutama, pasal keempat, dalam buku ini, di bawah sub-judul: bantahan atas klaim-klaim beberapa penulis kontemporer).
(4) Dalam 'Muhammedan Law", ch. I, p. 1.
(5) Dikutip oleh Sir. T. Arnold dalam bukunya: The Caliphate, p. 198.
(6) Encyclopedia of Social Sciences, vol. VIII, p. 333
(7) The Encyclopedia of Islam, IV, p. 350.
(8) Development of Muslim Theology, Jurisprudence and Constitutional Theory, New York, 1903, p. 67
(9) The Caliphate, Oxford, 1924, p. 30.
(10) Muhammedanism, 1949, p. 3
(11) Deskripsi detail tentang kedua bai'at tadi dapat dirujuk di dalam buku-buku sejarah politik. Dalam kesempatan ini kami sebutkan dua referensi: pertama, Sirah ibnu Hisyam (cet. Al Maktabah at Tijariah al Kubra), juz 2, hal. 35-90. kedua, Muhadharat fi Tarikh al Umam al Islamiah, karya Muhammad Khudhari, juz 1, hal. 79-83. Kami cukup mengutip sedikit darinya tentang kedua bai'at itu. Yaitu bahwa bai'at yang pertama terjadi satu tahun tiga bulan sebelum peristiwa hijrah, dan dihadiri oleh dua belas laki-laki dari penduduk Madinah. Kesepakatan yang diucapkan pada saat itu adalah tentang keharusan bertauhid, memegang kaidah-kaidah akhlak sosial umum yang menjadi dasar bagi undang-undang masyarakat yang ideal. Sedsangkan bai'at yang kedua terjadi satu tahun setelah itu, pada musim haji yang berikutnya. Dihadiri oleh tujuh puluh tiga laki-laki dan dua orang wanita. Perjanjian yang diucapkan saat itu ---disamping point-point yang disepakati sebelumnya-- adalah untuk saling bantu-membantu daslam peperangan dan perdamaian dalam melawan musuh negara yang baru berdiri itu, dan agama yang baru, serta untuk taat dalam kebaikan dan membela kebenaran.
Catatan Penterjemah:
Date: Thu, 10 Aug 2000 00:55:20 +0300
From: "alkattani"
To:
Assalamu'alaikum wr. wb.
Beberapa bulan yang lalu, saya dan beberapa orang rekan telah menyelesaikan penerjemahan buku Nazhariyyat as Siyasiyyah al Islamiyyah (Teori Politik Islam) yang cukup tebal, yang ditulis oleh Dr. Muhammad Dhiauddin Rais, Guru Besar dan Ketua Jurusan Sejarah Islam Fakultas Darul Ulum -- Universitas Kairo. Banyak orang yang mengatakan bahwa buku ini adalah buku terbaik yang pernah ditulis dalam bidang Teori Politik Islam. Mudah-mudahan dalam beberapa bulan mendatang GIP bisa segera menerbitkan buku tersebut, sehingga bisa segera memberikan manfaat bagi kaum Muslimin Indonesia yang sedang amat membutuhkan guidance dalam berpolitik. Sebagai bahan sementara, berikut ini saya kirimkan beberapa halaman dari buku tersebut (dalam dua postingan). Semoga bermanfaat.
Wassalamu'alaikum wr. wb.
Abdul Hayyie al Kattani
Pasal Pertama: Pembentukan Negara Islam
Pendahuluan
Di antara fenomena yang disadari oleh sebagian pengkaji teori-teori politik secara umum, adalah: adanya hubungan yang erat antara timbulnya pemikiran-pemikiran politik dengan perkembangan kejadian-kejadian historis (1). Jika fenomena itu benar bagi suatu jenis atau madzhab pemikiran tertentu, dalam bidang pemikiran apapun, hal itu bagi pertumbuhan dan perkembangan teori-teori politik Islam amatlah jelas benarnya. Teori-teori ini ---terutama pada fase-fase pertumbuhan pertamanya-- berkaitan amat erat dengan kejadian-kejadian sejarah Islam. Hingga hal itu harus dilihat seakan-akan keduanya adalah seperti dua sisi dari satu mata uang. Atau dua bagian yang saling melengkapi satu sama lain. Sifat hubungan di antara keduanya berubah-ubah: terkadang pemikiran-pemikiran itu tampak menjadi penggerak terjadinya berbagai kejadian, dan terkadang pula kejadian-kejadian itu menjadi pendorong atau rahim yang melahirkan pendapat-pendapat itu. Kadang-kadang suatu teori hanyalah sebuah bias dari kejadian yang berlangsung pada masa lalu. Atau suatu kesimpulan yang dihasilkan melalui perenungan atas suatu pendapat yang telah diakui pada masa sebelumnya. Atau bisa pula hubungan itu berbentuk lain.
Karena adanya hubungan antara dua segi ini, segi teoretis dan realistis, maka jelaslah masing-masing dari kedua hal itu tidak dapat dipahami tanpa keberadaan yang lain. Metode terbaik untuk mempelajari teori-teori ini adalah dengan mengkajinya sambil diiringi dengan realitas-realitas sejarah yang berkaitan dengannya. Secara berurutan sesuai dengan fase-fase perkembangan historisnya ---yang sekaligus merupakan runtutan alami dan logisnya. Sehingga dapat dipahami hakikat hubungan yang mengkaitkan antara dua segi, dapat memperjelas pendapat-pendapat, dan dapat menunjukkan bumi yang menjadi tempat tumbuhnya masing-masing pemikiran hingga berbuah, dan mencapai kematangannya. Inilah metode yang akan kami gunakan.
Era Kenabian
Era ini merupakan era pertama dalam sejarah Islam. Yaitu dimulai semenjak Rasulullah Saw memulai berdakwah mengajak manusia untuk menyembah Allah SWT hingga meninggalnya beliau. Era ini paling baik jika kita namakan sebagai era "kenabian" atau "wahyu". Karena era itu memiliki sifat tertentu yang membedakannya dari era-era yang lain. Ia merupakan era ideal yang padanya ideal-ideal Islam terwujudkan dengan amat sempurna.
Era ini terbagi menjadi dua masa, yang keduanya dipisahkan oleh hijrah. Kedua fase itu tidak memiliki perbedaan dan kelainan satu sama lain, seperti yang diklaim oleh beberapa orientalis (2). Bahkan fase yang pertama merupakan fase yang menjadi titik tolak bagi fase kedua. Pada fase pertama, embrio 'masyarakat Islam' mulai tumbuh, dan telah ditetapkan kaidah-kaidah pokok Islam secara general. Kemudian pada fase kedua bangun 'masyarakat Islam' itu berhasil dibentuk, dan kaidah-kaidah yang sebelumnya bersifat general selesai dijabarkan secara mendetail. Syari'at Islam disempurnakan dengan mendeklarasikan prinsip-prinsip baru, dan dimulailah pengaplikasian dan pelaksanaan prinsip-prinsip itu seluruhnya. Sehingga tampillah Islam dalam bentuk sosialnya secara integral dan aktif, yang semuanya menuju kepada tujuan-tujuan yang satu.
Sejarah, dalam pandangan politik, lebih terpusat pada fase kedua dibandingkan dengan fase pertama. Karena saat itu jama'ah Islam telah menemukan kediriannya, dan telah hidup dalam era kebebasan dan independensi. Ia juga telah meraih 'kedaulatan'nya, secara penuh. Sehingga prinsip-prinsip Islam sudah dapat diletakkan dalam langkah-langkah praksis. Namun, dalam pandangan sejarah, ciri terbesar yang menandai kedua fase itu adalah sifatnya sebagai fase 'pembentukan', dan fase pembangunan dan permulaan. Fase ini memiliki urgensitas yang besar dalam menentukan arah kejadian-kejadian historis selanjutnya, dan sebagai peletak rambu-rambu yang diikuti oleh generasi-generasi berikutnya sepanjang sejarah. Sedangkan dari segi pemikiran teoritis, pengaruhnya terbatas pada kenyataannya sebagai ruh umum yang terus memberikan ilham terhadap pemikiran ini, memberikan contoh atau teladan ideal yang menjadi rujukan pemikiran-pemikiran itu, meskipun pemikiran-pemikiran itu berbeda satu sama lain, dan memberikan titik pertemuan bagi pendapat-pendapat dan madzhab-madzhab yang berbeda. Sedangkan selain itu, ia tidak memiliki hubungan dengan tumbuhnya pendapat-pendapat parsial yang memiliki kekhasan masing-masing. Terutama jika objek kajiannya adalah analisis terhadap sistem umum yang menjadi platform kenegaraan ummat, atau tentang hubungan-hubungan yang terdapat di dalamnya, atau analisis terhadap salah satu sifatnya. Atau dengan kata lain, analisis terhadap masalah-masalah yang dinamakan sebagai 'politik'. Karena pendapat-pendapat personal itu tidak tumbuh dalam satu atmospir. Namun pendapat-pendapat itu tampil seiring dengan terjadinya perbedaan pendapat dan kecenderungan-kecenderungan. Yang mendorong timbulnya pendapat-pendapat itu juga adalah adanya perasaan kurang sempurna yang ada di tengah masyarakat, dan keinginan untuk mengoreksi sistem atau perilaku-perilaku yang sedang berlangsung. Sedangkan jika suatu sistem telah sempurna, yang mencerminkan prinsip-prinsip agung yang diamini oleh seluruh anggota jama'ah (ummat), dan adanya persatuan yang terwujud di antara individu-individu, kemudian mereka menyibukkan diri mereka untuk berbicara dan berdebat tentang agenda-agenda kerja yang besar, niscaya tidak diperlukan sama sekali tumbuhnya pendapat-pendapat individu atau tampil 'teori-teori'.
Demikianlah, era Rasulullah Saw mencerminkan era persatuan, usaha dan pendirian bangunan umat. Serta menampilkan ruh yang mewarnai kehidupan politik, dan mewujudkan replika bangunan masyarakat yang ideal untuk diteladani dan ditiru oleh generasi-generasi yang datang kemudian. Namun, 'pemikiran teoritis' saat itu belum dimulai. Hal ini tentu amat logis dengan situasi yang ada. Yang jelas, belum ada kebutuhan terhadap hal itu. Namun demikian, belum lagi era tersebut berakhir, sudah timbul faktor-faktor fundamental yang niscaya mendorong timbulnya pemikiran ini, dan membentuk 'teori-teori politik' secara lengkap. Di antara faktor-faktor yang terpenting ada tiga hal: pertama, sifat sistem sosial yang didirikan oleh Rasulullah Saw. Kedua, pengakuan akan prinsip kebebasan berpikir untuk segenap individu. Ketiga, penyerahan wewenang kepada umat untuk merinci detail sistem ini, seperti tentang metode manajerialnya, dan penentuan beberapa segi formatnya. Kami perlu menjelaskan lebih lanjut tentang faktor-faktor ini.
Islam dan Politik
Sistem yang dibangun oleh Rasulullah Saw dan kaum mukminin yang hidup bersama beliau di Madinah --jika dilihat dari segi praksis dan diukur dengan variabel-variabel politik di era modern-- tidak disangsikan lagi dapat dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem politik par excellence. Dalam waktu yang sama, juga tidak menghalangi untuk dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem religius, jika dilihat dari tujuan-tujuannya, motivasinya, dan fundamental maknawi tempat sistem itu berpijak.
Dengan demikian, suatu sistem dapat menyandang dua karakter itu sekaligus. Karena hakikat Islam yang sempurna merangkum urusan-urusan materi dan ruhani, dan mengurus perbuatan-perbuatan manusia dalam kehidupannya di dunia dan akhirat. Bahkan filsafat umumnya merangkum kedua hal itu, dan tidak mengenal pemisahan antara keduanya, kecuali dari segi perbedaan pandangan. Sedangkan kedua hal itu sendiri, keduanya menyatu dalam kesatuan yang tunggal secara solid; saling beriringan dan tidak mungkin terpisah satu sama lain. Fakta tentang sifat Islam ini amat jelas, sehingga tidak membutuhkan banyak kerja keras untuk mengajukan bukti-bukti. Hal itu telah didukung oleh fakta-fakta sejarah, dan menjadi keyakinan kaum Muslimin sepanjang sejarah yang telah lewat. Namun demikian, ada sebagian umat Islam sendiri, yang mengklaim diri mereka sebagai 'kalangan pembaru', dengan terang-terangan mengingkari fakta ini!. Mereka mengklaim bahwa Islam hanyalah sekadar 'dakwah agama' (3): maksud mereka adalah, Islam hanyalah sekadar keyakinan atau hubungan ruhani antara individu dengan Rabb-nya. Dan dengan demikian tidak memiliki hubungan sama sekali dengan urusan-urusan yang kita namakan sebagai urusan materi dalam kehidupan dunia ini. Di antara urusan-urusan ini adalah: masalah-masalah peperangan dan harta, dan yang paling utama adalah masalah politik. Di antara perkataan mereka adalah: "agama adalah satu hal, dan politik adalah hal lain".
Untuk mengcounter pendapat mereka, tidak ada manfaatnya jika kami mendedahkan pendapat-pendapat ulama Islam; karena mereka tidak mau mendengarkannya. Juga kami tidak memulainya dengan mengajukan fakta-fakta sejarah, karena mereka dengan sengaja telah mencampakkannya!. Oleh karena itu, cukuplah kami kutip beberapa pendapat orientalis dalam masalah ini, dan mereka telah mengutarakan hal itu dengan redaksi yang jelas dan tegas. Hal itu kami lakukan karena para 'pembaru-pembaru' itu tidak dapat mengklaim bahwa mereka lebih modern dari para orientalis itu, juga tidak dapat mengklaim bahwa mereka lebih mampu dalam menggunakan metode-metode riset modern, dan penggunaan metode-metode ilmiah. Di antara pendapat-pendapat para orientalis itu adalah sebagai berikut:
1. Dr. V. Fitzgerald (4) berkata: "Islam bukanlah semata agama (a religion), namun ia juga merupakan sebuah sistem politik (a political system). Meskipun pada dekade-dekade terakhir ada beberapa kalangan dari umat Islam, yang mengklaim diri mereka sebagai kalangan 'modernis', yang berusaha memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh gugusan pemikiran Islam dibangun di atas fundamental bahwa kedua sisi itu saling bergandengan dengan selaras, yang tidak dapat dapat dipisahkan satu sama lain".
2. Prof. C. A. Nallino (5) berkata: "Muhammad telah membangun dalam waktu bersamaan: agama (a religion) dan negara (a state). Dan batas-batas teritorial negara yang ia bangun itu terus terjaga sepanjang hayatnya".
3. Dr. Schacht berkata (6): " Islam lebih dari sekadar agama: ia juga mencerminkan teori-teori perundang-undangan dan politik. Dalam ungkapan yang lebih sederhana, ia merupakan sistem peradaban yang lengkap, yang mencakup agama dan negara secara bersamaan".
4. Prof. R. Strothmann berkata (7): "Islam adalah suatu fenomena agama dan politik. Karena pembangunnya adalah seorang Nabi, yang juga seorang politikus yang bijaksana, atau "negarawan".
5. Prof D.B. Macdonald berkata (8): "Di sini (di Madinah) dibangun negara Islam yang pertama, dan diletakkan prinsip-prinsip utama undang-undang Islam".
6. Sir. T. Arnold berkata (9): " Adalah Nabi, pada waktu yang sama, seorang kepala agama dan kepala negara".
7. Prof. Gibb berkata (10): "Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam bukanlah sekadar kepercayaan agama individual, namun ia meniscayakan berdirinya suatu bangun masyarakat yang independen. Ia mempunyai metode tersendiri dalam sistem kepemerintahan, perundang-undangan dan institusi".
Bukti Sejarah
Seluruh pendapat-pendapat tadi diperkuat oleh fakta-fakta sejarah : di antara fakta sejarah yang tidak dapat diingkari oleh siapapun adalah, setelah timbulnya dakwah Islam, kemudian terbentuk bangunan masyarakat baru yang mempunyai identitas independen yang membedakannya dari masyarakat lain. Mengakui satu undang-undang, menjalankan kehidupannya sesuai dengan sistem yang satu, menuju kepada tujuan-tujuan yang sama, dan di antara individu-individu masyarakat yang baru itu terdapat ikatan ras, bahasa, dan agama yang kuat, serta adanya perasaan solidaritas secara umum. Bangunan masyarakat yang memiliki semua unsur-unsur tadi itulah yang dinamakan sebagai bangunan masyarakat 'politik'. Atau yang dinamakan sebagai 'negara'. Tentang negara, tidak ada suatu definisi tertentu, selain aanya fakta terkumpulnya karakteristik-karakteristi yang telah disebutkan tadi dalam suatu bangunan masyarakat.
Di antara fakta-fakta sejarah yang tidak diperselisihkan juga adalah, bangunan masyarakat politik ini atau 'negara', telah memulai kehidupan aktifnya, dan mulai menjalankan tugas-tugasnya, dan merubah prinsip-prinsip teoritis menuju dataran praksis. Setelah tersempurnakan kebebasan dan kedaulatannya, dan kepadanya dimasukkan unsur-unsur baru dan adanya penduduk. Yaitu setelah pembacaan bai'at Aqabah satu dan dua, yang dilakukan antara Rasulullah Saw dengan utusan dari Madinah, yang dilanjutkan dengan peristiwa hijrah. Para faktanya, kedua bai'at ini --yang tidak diragukan oleh seorangpun tentang berlangsungnya kedua bai'at ini-- merupakan suatu titik transformasi dalam Islam (11). Dan peristiwa hijrah hanyalah salah satu hasil yang ditelurkan oleh kedua peristiwa bai'at itu. Pandangan yang tepat terhadap kedua bai'at tadi adalah dengan melihatnya sebagai batu pertama dalam bangunan 'negara Islam'. Dari situ akan tampak urgensitas kedua hal itu. Alangkah miripnya kedua peristiwa bai'at itu dengan kontrak-kontrak sosial yang di deskripsikan secara teoritis oleh sebagian filosof politik pada era-era modern. Dan menganggapnya sebagai fondasi bagi berdirinya negara-negara dan pemerintahan. Namun bedanya, 'kontrak sosial' yang dibicarakan Roussou dan sejenisnya hanyalah semata ilusi dan imajinasi, sementara kontrak sosial yang terjadi dalam sejarah Islam ini berlangsung dua kali secara realistis di Aqabah. Dan di atas kontrak sosial itu negara Islam berdiri. Ia merupakan sebuah kontrak historis. Ini merupakan suatu fakta yang diketahui oleh semua orang. Padanya bertemu antara keinginan-keinginan manusiawi yang merdeka dengan pemikiran-pemikiran yang matang, dengan tujuan untuk mewujudkan risalah yang mulia.
Dengan demikian, negara Islam terlahirkan dalam keadaan yang amat jelas. Dan pembentukannya terjadi dalam tatapan sejarah yang jernih. Karena Tidak ada satu tindakan yang dikatakan sebagai tindakan politik atau kenegaraan, kecuali dilakukan oleh negara Islam yang baru tumbuh ini. Seperti Penyiapan perangkat untuk mewujudkan keadilan, menyusun kekuatan pertahanan, mengadakan pendidikan, menarik pungutan harta, mengikat perjanjian atau mengirim utusan-utusan ke luar negeri. Ini merupakan fakta sejarah yang ketiga. Adalah mustahil seseorang mengingkarinya. Kecuali jika kepadanya dibolehkan untuk mengingkari suatu fakta sejarah yang terjadi di masa lalu, dan yang telah diterima kebenarannya oleh seluruh manusia. Dari fakta-fakta yang tiga ini --yang telah kami sebutkan-- terbentuk bukti sejarah yang menurut kami dapat kami gunakan sebagai bukti --di samping pendapat kalangan orientalis yang telah disitir sebelumnya-- atas sifat politik sistem Islam. Jika telah dibuktikan, dengan cara-cara yang telah kami gunakan tadi, bahwa sistem Islam adalah sistem politik, dengan demikan maka terwujudlah syarat pertama yang mutlak diperlukan bagi keberadaan pemikiran politik. Karena semua pemikiran tentang hal ini: baik tentang pertumbuhannya, hakikatnya, sifat-sifatnya atau tujuan-tujuannya, niscaya ia menyandang sifat ini, yaitu sifatnya sebagai suatu pemikiran politik. Syarat ini merupakan faktor yang terpenting dalam pertumbuhan pemikiran ini. Bahkan ia merupakan landasan berpijak bagi kerangka-kerangka teoritis dan aliran-aliran pemikiran yang beragam. Oleh karena itu, amatlah logis jika kami curahkan seluruh perhatian ini untuk meneliti dan menjelaskannya.
Catatan kaki:
(1) Di antara tokoh yang mengatakan hal itu adalah Prof. J.N. Figgis dalam buku "The Divine Right of Kings --yang dengan bukunya itu ia mendapatkan salah satu penghargaan sastra yang besar-- , dalam beberapa tempat dari bukunya itu, ia membuktikan bahwa teori itu lahir akibat situasi dan kondisi yang berlangsung pada saat itu. Di antara ungkapannya itu adalah yang ia tulis dalam pendahuluan bukunya itu: "Teori ini lebih tepat dikatakan sebagai akibat dari realitas yang ada, ketimbang sebagai buah pemikiran murni", hal. 6.
J. Matters juga mengatakan dalam bukunya "Concepts of State, Sovereignty and International Law", p.2, sebagai berikut: "ini adalah fakta yang penting, meskipun tidak diketahui oleh banyak orang: bahwa teori-teori yang ditelurkan oleh Hocker, Hobbes, Locke, dan Roussou merupakan hasil dari kecenderungan-kecenderungan politik mereka, dan perhatian mereka terhadap hasil peperangan-pepernagan agama dan politik, yang --secara berturut-turut--terjadi pada zaman mereka, di negara-negara mereka, atau di negara-negara yang menjadi perhatian mereka".
(2) Di antara klaim-klaim yang salah, yang didengung-dengungkan oleh banyak orientalis adalah: bahwa peristiwa hijrah merupakan permulaan era baru. Maksudnya, ia merupakan starting point terjadinya perubahan fundamental, yang tidak saja terlihat dalam pergeseran sifat kejadian-kejadian yang berlangsung setelahnya, namun juga pada karakteristik Islam itu sendiri, prinsip-prinsip yang diajarkan olehnya, serta dalam lingkup kejiwaan Rasulullah Saw dan tujuan-tujuan beliau. Untuk membuktikan klaim itu, mereka melakukan komparasi antara kehidupan Rasulullah Saw yang bersifat menyerah dan mengalah di Mekkah dengan kehidupan jihad dan revolusi di Madinah!. Untuk membantah klaim ini, kita cukup berdalil dengan fakta bahwa tidak kontradiksi antara kedua priode kehidupan Rasulullah Saw itu (priode Mekkah dan madinah), dan priode kedua tak lebih dari kontiunitas periode pertama. Dan perbedaan yang ada hanyalah terletak pada kondisi dan faktor-faktor penggerak kejadian; setiap kali ada fenomena tertentu yang signifikan, saat itu pula timbul dimensi baru dalam kehidupan Islam.
Namun kita cukup mengutip apa yang dikatakan oleh seorang tokoh orientalis yang besar, yaitu Prof. H.A.R. Gibb. Ia berkata dalam bukunya yang berbicara tentang Islam "Muhammedanism", p. 27, in the Series (H.U.L), 1949, sebagai berikut:
"Peristiwa hijrah sering dilihat sebagai starting point transformasi menuju era baru dalam kehidupan Muhammad dan penerusnya; namun pembandingan secara mutlak yang biasanya dilakukan antara pribadi seorang Rasul yang tidak terkenal dan tertindas di Mekkah, dengan pribadi seorang mujahid [Muhammad] dalam membela aqidah di Madinah, tidak memiliki landasannya dalam sejarah. Tidak ada perubahan dalam pandangan Muhammad tentang misinya atau kesadarannya terhadap misinya itu. Meskipun dalam segi pisik tampak gerakan Islam dalam bentuk yang baru, namun hal itu hanyalah bersifat sebagai penampakkan sesuatu yang sebelumnya tertutup, dan pendeklarasian sesuatu yang sebelumnya disembunyikan. Adalah suatu pemikiran Rasul yang tetap -- seperti yang juga dilihat oleh musuhnya dalam memandang masyarakat agama baru yang didirikan olehnya itu-- bahwa dia akan mendirikan suatu bangunan politik; sama sekali bukan sekadar bentuk agama yang terpisah dari dan terletak di bawah kekuasaan pemerintahan duniawi. Dia selalu menegaskan, saat menjelaskan sejarah risalah-risalah rasul sebelumnya, bahwa ini (pendirian negara) merupakan salah satu tujuan utama diutusnya rasul-rasul oleh Tuhan. Dengan demikian, sesuatu hal baru yang terjadi di Madinah --hanyalah-- berupa: jama'ah Islam telah mengalami transformasi dari fase teoritis ke fase praksis".
(3) Diantara tokoh mengusung pendapat ini dan membelanya adalah Ali Abdurraziq, mantan hakim pengadilan agama di Manshurah, dan mantan menteri perwakafan, dalam bukunya yang dipublikasikan pada tahun 1925, dan berjudul: Al Islam wa Ushul al Hukm. Di samping bantahan-bantahan yang kami ketengahkan saat ini, kami akan kembali mendiskusikn pendapat-pendapatnya dan memberikan bantahan atasnya nanti secara lebih terperinci dalam pasal-pasal berikutnya. (lihat, terutama, pasal keempat, dalam buku ini, di bawah sub-judul: bantahan atas klaim-klaim beberapa penulis kontemporer).
(4) Dalam 'Muhammedan Law", ch. I, p. 1.
(5) Dikutip oleh Sir. T. Arnold dalam bukunya: The Caliphate, p. 198.
(6) Encyclopedia of Social Sciences, vol. VIII, p. 333
(7) The Encyclopedia of Islam, IV, p. 350.
(8) Development of Muslim Theology, Jurisprudence and Constitutional Theory, New York, 1903, p. 67
(9) The Caliphate, Oxford, 1924, p. 30.
(10) Muhammedanism, 1949, p. 3
(11) Deskripsi detail tentang kedua bai'at tadi dapat dirujuk di dalam buku-buku sejarah politik. Dalam kesempatan ini kami sebutkan dua referensi: pertama, Sirah ibnu Hisyam (cet. Al Maktabah at Tijariah al Kubra), juz 2, hal. 35-90. kedua, Muhadharat fi Tarikh al Umam al Islamiah, karya Muhammad Khudhari, juz 1, hal. 79-83. Kami cukup mengutip sedikit darinya tentang kedua bai'at itu. Yaitu bahwa bai'at yang pertama terjadi satu tahun tiga bulan sebelum peristiwa hijrah, dan dihadiri oleh dua belas laki-laki dari penduduk Madinah. Kesepakatan yang diucapkan pada saat itu adalah tentang keharusan bertauhid, memegang kaidah-kaidah akhlak sosial umum yang menjadi dasar bagi undang-undang masyarakat yang ideal. Sedsangkan bai'at yang kedua terjadi satu tahun setelah itu, pada musim haji yang berikutnya. Dihadiri oleh tujuh puluh tiga laki-laki dan dua orang wanita. Perjanjian yang diucapkan saat itu ---disamping point-point yang disepakati sebelumnya-- adalah untuk saling bantu-membantu daslam peperangan dan perdamaian dalam melawan musuh negara yang baru berdiri itu, dan agama yang baru, serta untuk taat dalam kebaikan dan membela kebenaran.
Catatan Penterjemah:
Date: Thu, 10 Aug 2000 00:55:20 +0300
From: "alkattani"
To:
Assalamu'alaikum wr. wb.
Beberapa bulan yang lalu, saya dan beberapa orang rekan telah menyelesaikan penerjemahan buku Nazhariyyat as Siyasiyyah al Islamiyyah (Teori Politik Islam) yang cukup tebal, yang ditulis oleh Dr. Muhammad Dhiauddin Rais, Guru Besar dan Ketua Jurusan Sejarah Islam Fakultas Darul Ulum -- Universitas Kairo. Banyak orang yang mengatakan bahwa buku ini adalah buku terbaik yang pernah ditulis dalam bidang Teori Politik Islam. Mudah-mudahan dalam beberapa bulan mendatang GIP bisa segera menerbitkan buku tersebut, sehingga bisa segera memberikan manfaat bagi kaum Muslimin Indonesia yang sedang amat membutuhkan guidance dalam berpolitik. Sebagai bahan sementara, berikut ini saya kirimkan beberapa halaman dari buku tersebut (dalam dua postingan). Semoga bermanfaat.
Wassalamu'alaikum wr. wb.
Abdul Hayyie al Kattani
Rabu, 08 Oktober 2008
Membangunkan ekonomi secara seimbang dan komprehensif
LATAR SITUASI
JIKA pembangunan ekonomi dilakukan dengan tujuan memenuhi kehendak manusia seperti makan, minum, pakaian dan tempat tinggal, maka ia adalah pembangunan ekonomi yang menjadi intipati pada ideologi Komunisme. Jika pembangunan ekonomi dilakukan bagi memenuhi keperluan material, fizikal, kemudahan dan keselesaan, maka ia adalah pembangunan ekonomi yang amat dipentingkan dalam fahaman Kapitalisme. Jika pembangunan ekonomi perlu pula memastikan keadilan sosial terlaksana, maka ia adalah selaras dengan fahaman Sosialisme.
Antara isme-isme ini yang masih kekal berpengaruh ialah kapitalisme, yang menjadi teras kegerakan ekonomi Amerika Syarikat dan Barat amnya. Prinsip-prinsip komunisme semakin hari semakin dihakiskan dengan pembangunan yang berteraskan pada mekanisme kapitalisme, seperti pasaran terbuka, ekonomi bebas, menggalakkan pelaburan antarabangsa dan global, liberalisasi dan kekuasaan pasaran, persaingan bebas dan seumpamanya.
Sementara itu, keadilan sosial pula hanya dilaksanakan melalui agenda bantuan, derma, pembiayaan melalui yayasan ´philanthropist´ (kebajikan) dan sebagainya, termasuklah pinjaman jangka masa panjang. Biasanya mana-mana pihak yang menerima ´bantuan´ ini akan terasa terhutang budi sehingga terpaksa menyerahkan sebahagian dari kek ekonomi negaranya kepada si penderma.
Walau apapun, kesan ke atas ekonomi dan kehidupan rakyat, khususnya terhadap negara baru merdeka, yang majoritinya miskin dan mundur - mengikut perspektif kapitalis Barat – amatlah mendukacitakan. Mereka didapati terus bergantung kepada negara-negara maju Barat dalam serba hal, termasuklah apa yang dinamakan sebagai bantuan kewangan. Lalu situasi ´telunjuk lurus kelingking berkait´ pun berlaku sehingga negara-negara Dunia Ketiga terus berada dalam genggaman negara-negara maju Barat. Mereka pun tidak mampu keluar dari kepompong kemiskinan dan kemunduran.
Situasi sebegini turut dialami oleh negara-negara Islam, termasuklah negara dan bangsa tempat kelahiran Islam. Pengabaian ajaran Islam oleh umatnya boleh dikatakan bermula semenjak kewafatan Nabi Muhammad s.a.w lagi. Paling ketara dan disebut secara jelas ialah apabila bangsa barbar Turk menakluk negara Islam, dan kemudiannya mereka sendiri memeluknya, lalu wujudlah Daulah Uthmaniyah.
Sejarah sebegini menunjukkan betapa kebesaran Islam yang tidak semestinya memilih umat yang mengakui sebagai penganutnya, tetapi pada masa yang sama, mengabaikan ajaran-ajaran yang telah ditentukan.Sesungguhnya, Islam mempunyai cara yang tersendiri untuk terus berada di persada dunia. Apa yang sedang berlaku di Malaysia adalah satu lagi contoh bagaimana ummah yang kecil dan tidak dikenali boleh menjadi contoh apabila ajaran Islam dipegangi dengan sekuat-kuatnya. Demikianlah gambaran ringkas betapa Islam mampu memandu-arah manusia ke arah kegemilangan. Jika sejarah kebangkitan dan pengembangan Islam disifatkan sebagai bunga bersama pedang, rentetan sejarah kebangkitan semula Islam menunjukkan sebaliknya.Pedang hanyalah ketika mempertahankan diri dan hak. Dengan itu, hak asasi manusia, manusia adalah bersaudara, demokrasi, keadilan sosial, adalah antara unsur-unsur yang sememangnya diperjuangkan oleh Islam. Cuma, oleh kerana kuasa hari ini dipegang oleh Barat, maka Barat pun mengakui bahawa semua itu adalah ciptaan mereka.PENGALAMAN MALAYSIAKetika Malaysia mendapat kemerdekaan, suara yang sama wujud. Malaysia tidak dipercayai dapat mengisi kemerdekaan kerana tidak mempunyai ilmu, lemah, miskin, memerlukan bantuan dalam serba hal dan sebagainya. Namun, kemajuan dan pembangunan dapat dilaksanakan, dan Peristiwa 13 Mei 1969, memberi pengajaran baru kepada pemimpin negara agar lebih berhati-hati, lalu terhasillah Dasar Ekonomi Baru (DEB).
Sehingga kini DEB tetap menjadi asas kepada program kemajuan, walau pun dalam Wawasan 2020, yang diformulakan dalam tahun 1990, yang bertujuan untuk menjadikan Malaysia sebagai sebuah negara maju. Cabaran-cabaran baru yang muncul tetap tidak menggugat premis dan kerangka DEB. Sebaliknya, DEB tetap menjadi panduan dan garis utama untuk tapak-tapak pembangunan dan kemajuan seterusnya.
Kesannya sungguhlah memberangsangkan. Malaysia kini muncul sebagai negara contoh kepada negara-negara membangun lain; negara Islam contoh kepada negara-negara Islam yang ternyata masih belum dapat keluar dari pengaruh dan cengkaman Barat apabila cuba memenuhi kehendak rakyat dan negara dalam pembangunan.
Kini kehadiran negara-negara luar untuk mempelajari pengalaman Malaysia adalah suatu bentuk perhubungan antarabangsa yang baru. Wakil dari Malaysia diajak menjadi pengurus-tadbir pembangunan sesebuah negara. PERANAN AJARAN ISLAM Dalam apa jua situasi sekali pun, ajaran Islam tetap menjadi pegangan dan pedoman bagi Malaysia.
Selepas merdeka, Islam didakwa sebagai tidak mempunyai ilmu ekonomi yang diperlukan untuk membangunkan negara atau membawa kemajuan kepada negara. Islam dikatakan hanya mempunyai ajaran ibadah dan kepercayaan saja.Para intelek dan cendekiawan Islam bangkit dan menafikan kata-kata ini. Mereka bertegas menyatakan bahawa Islam adalah agama yang syumul, yang bermaksud mencakupi segala aspek kehidupan… dan bidang ekonomi pun tidak tertinggal.
Para cendekiawan Islam pun sibuk mengIslamisasikan ilmu-ilmu yang datang dari Barat. Dengan itu, muncullah istilah seperti ekonomi Islam. Usaha ini digerakkan oleh kumpulan moderat Islam, yang terdiri dari cendikiawan berpendidikan Barat, berkongsi pendapat dengan pemodenan dan kemajuan. Namun, ada yang melihat usaha mengIslamisasikan ilmu yang mencakupi bukan saja ekonomi bahkan juga sains, sebagai usaha mengada-ada kerana tidak mahu dan malu mengakui bahawa apa yang sedang mereka lakukan ialah meniru, menyesuaikan ilmu dari Barat yang sekular, bersifat Kristian, dan ciptaan manusia yang dianggap sebagai lemah dan berubah-ubah.
Berbanding dengan ayat suci al-Quran dan Sunnah, maka akal manusia dilihat sebagai tidak begitu perlu dijadikan asas tindakan selanjutnya. Malaysia memerhati keseluruhan perkembangan dan kemajuan yang berlaku dalam dunia Islam ini. Dari gerakan yang sederhana, muncul pula gerakan yang semakin taksub. Fundamental Islam diwajahkan sebagai ekstrem, dan puak berhaluan militan tampil di tengah-tengah masyarakat Islam yang sepatutnya merupakan sebuah masyarakat yang cintakan keamanan dan kedamaian.Malaysia mengikuti semua perkembangan ini.
Tindakan-tindakan Malaysia dijadikan bahan tumpuan utama. Mutakhirnya, didapati apa yang berlaku adalah sesuatu perkara yang sememangnya mengikut landasan agama. Ia bersifat ketamadunan dan ini perlu diperkukuhkan. Apa yang sedang berlaku di negara-negara Arab adalah kerana situasi politik semasa yang mendapat tekanan dari, sekali lagi, kuasa Barat. Perjuangan dan penentangan untuk mendapatkan kemerdekaan dikatakan sebagai pemberontakan.
Justeru, Islam Hadhari pun menjadi istilah yang dipilih untuk menggambarkan apa yang sedang dilakukan oleh Malaysia, bukan saja kepada umat tempatan, ataupun kepada negara-negara Islam, bahkan dunia seluruhnya, termasuklah Barat. Menamakan pendekatan ala Malaysia ini penting bagi membezakan ajaran Islam dengan perjuangan sebuah ummah yang dinafi-rampas hak mereka. Dengan kedudukan dan taraf Malaysia sebagai negara Islam contoh, maka istilah ini menjadi perhatian dunia.
INTISARI PEMBANGUNAN ISLAM HADHARI. Apa yang lebih mencabar ialah merealisasikan pembangunan ekonomi secara seimbang dan komprehensif. Sungguhpun begitu, ini bukanlah bermakna Islam Hadhari hanya mempunyai falsafah ekonomi yang sebegini saja. Ini adalah lebih difahami sebagai bersesuaian dengan konteks Malaysia.Kalau diperhatikan kandungan Islam Hadhari yang telah digariskan oleh Perdana Menteri Malaysia, agenda pembangunan ekonomi ini bukanlah suatu bentuk pembangunan yang tidak ada kaitan dengan agenda-agenda lain, yang kesemuanya berjumlah 10 perkara.
Pembangunan ekonomi ini boleh dikaitkan dengan penguasaan ilmu pengetahuan, yang sudah tentunya bidang atau ilmu ekonomi turut terlibat. Melalui perbankan Islam, banyak istilah produk kewangan diketengahkan seperti ‘bait mal ajil’, ‘mudharabah’, ‘murabahah’ dan sebagainya. Para anggota panel syariah ternyata mempunyai mekanisme yang sewajarnya untuk digunakan bagi mengasingkan ajaran Islam dengan amalan konvensional dalam perbankan. Dengan itu tumbuhlah sebahagian daripada ilmu ekonomi.Begitu juga dengan agenda kehidupan berkualiti; memastikan hak minoriti dan wanita; budaya dan moral; dan seterusnya, pemeliharaan alam sekitar. Semua agenda-agenda ini pastinya saling berkait bagi menguatkan lagi pengertian melakarkan Islam Hadhari.
Sungguhpun begitu, tumpuan utama ialah keseimbangan pembangunan dan sifat komprehensif yang perlu diwujudkan dalam perencanaan pembangunan.
i) Pembangunan Yang Seimbang
Konsep keseimbangan pembangunan ini adalah berteraskan pada ajaran Islam yang ingin melahirkan ummah yang seimbang, ´ummatan wasata´. Walaupun maksud ´wasata´ yang ditujukan pada ummah ini hanya bermaksud seimbang dari segi emosi dan mental, fizikal dan kerohanian, intelek dan kemampuan, potensi dan keupayaan dan seterusnya, namun apabila diaplikasikan pada pembangunan, ternyata ia lebih meluas dan menyeluruh.
Bajet yang berhemah, seimbang, adalah antara konsep-konsep bajet yang pernah menjadi pendekatan dalam belanjawan negara. Maksud utamanya ialah hasrat bajet yang cuba mewujudkan dan melahirkan suatu dimensi ekonomi yang seimbang untuk semua kaum. Ini selaras dengan situasi negara yang mempunyai pelbagai jenis warganegara iaitu pelbagai kaum dan kebudayaan, agama, kepercayaan dan sebagainya. Semuanya perlu diberikan hak dan peluang yang sama. Lantas, seimbang dan dari keseimbangan ini terpancarlah keadilan, yang dapat memuaskan semua pihak.Apabila diperhalusi adalah ternyata bahawa dasar keseimbangan yang pernah diwujudkan semenjak 1970 melalui DEB, adalah merupakan dasar yang secucuk dengan ajaran Islam.
Walaupun pencapaian DEB adalah terbatas sehingga terpaksa dilanjutkan setelah tempoh tamatnya, 1990, tidak dapat menghasilkan keseimbangan sebagaimana yang dirancang, namun kesan dan impaknya adalah sungguh positif, bermanfaat, menggalakkan dan terpentingnya, mampu menjanakan pertumbuhan ekonomi sehingga tidak pernah dicapai oleh mana-mana negara di dunia sebelum ini.Sesungguhnya, ini adalah bukti keberkesanan, bukti kerelevanan konsep pembangunan yang seimbang.
Dengan itu, maksud pembangunan seimbang adalah bermaksud seimbang dari segi peratusan ekuiti, pengurusan dan kakitangan, persyarikatan, perindustrian, perbankan, kewangan dan seterusnya… dalam semua sektor. Hal ini juga diteruskan dalam kerangka perdangan antarabangsa Malaysia, yang menerima asas globalisasi dan liberalisasi Pertubuhan Perdagangan Dunia (WTO).2) Pembangunan Yang KomprehensifBegitu jugalah dalam konteks komprehensif. Sememangnya dasar keseimbangan ini berlaku dalam sektor-sektor yang menyeluruh dan sektor-sektor ini diperlebarkan dari masa ke semasa. Ini penting dan diperlukan adalah kerana pengalaman pahit dan hitam 13 Mei mengajar bahawa pembahagian kek ekonomi mampu meredakan perbalahan atau perselisihan antara warga yang berbilang kaum.
Ertinya, keseimbangan dalam ‘pembahagian kek ekonomi negara’ dan secara komprehensif ini mampu menyatupadukan seluruh warga Malaysia.Meskipun dapat diterima bahawa pembangunan ekonomi bukanlah semestinya menjadi satu-satunya cara untuk mencapai perpaduan pelbagai kaum, namun aspek ekonomi mampu melonjakkan keperluan untuk mengekalkan perpaduan. Ini tidak boleh dinafikan dan diperlekehkan lagi. Mereka yang mengkritik perpaduan melalui pembahagian ekonomi yang komprehensif, tidak dapat membuktikan bahawa strategi dan serampang perancangan ekonomi sebegini tidak berfungsi. Ia sudah menjadi satu realiti, bukan lagi sekadar pemikiran yang belum teruji.
PERLUNYA KAJIAN KESEIMBANGAN Sememangnya, untuk mencapai tahap keseimbangan ini amatlah sukar. Namun, kesukaran ini perlu dilihat lebih sebagai cabaran dan ujian. Inilah fahaman dan minda proaktif yang perlu ada.Lagi pun, ajaran Islam sememangnya menegaskan cabaran dan ujian adalah lumrah. Ini terbukti apabila setiap daripada umat Islam akan diuji sebaik saja mereka mengakui memeluk Islam. Dengan kata lain, kesukaran perlu diterima seadanya dan seterusnya mencari jalan-jalan yang boleh sekurang-kurangnya meredakannya.Begitu jugalah dengan persaingan yang menjadi ciri utama dalam dunia perniagaan yang dikuasai oleh tatacara kapitalisme. Cuma persaingan itu mestilah sihat dan adil. Inilah yang telah ditegaskan oleh bekas Perdana Menteri, Tun DrMahathir Mohamad ketika menjelaskan maksud ´level playing field´ (tahap kesaksamaan apabila bersaing). Kemampuan dan potensi perlu juga diambil kira, bukan saja faktor modal.1) Ciri dan Cabaran KeseimbanganSatu perkara yang perlu diingati di sini ialah apabila konsep keseimbangan ´wasata´ ini diterimakai, tersirat di dalamnya ialah kejujuran dan keikhlasan. Ini adalah dua faktor ´ke dalam´ yang amat penting dan sering menjadi perhatian dan komentar pelbagai pihak khususnya parti politik pembangkang. Walau apapun, adalah jelas dan nyata rakyat tidak terpengaruh dan memahami telatah parti pembangkang yang tidak senang dengan kejayaan kerajaan yang ada.
Mereka sanggup mengkritik apa jua perancangan kerajaan. Mereka pula berselindung di sebalik kononnya untuk memainkan peranan pencegah kemungkaran seperti judi, arak, kelab malam, peningkatan jenayah dan sebagainya. Namun, mereka tidak dapat menerima pula bahawa peranan pencegah kemungkaran mereka itu hanya menghasilkan situasi yang lebih buruk – mengancam perpaduan sesama ummah. Apabila dikatakan mereka ekstrem, mereka menafikannya dan mengaku tidak bertanggungjawab pula. Inilah taktik lempar batu sembunyi tangan. Malah taktik ini lebih kurang sama dengan “mat rempit” ataupun “mat motor” yang memarahi pihak berkuasa apabila menyekat kegiatan mereka yang menyalahi undang-undang dan mengancam ketenteraman awam. Mereka tidak tahu untuk menjadi pencegah kemungkaran.
Demikianlah gambaran cabaran yang tidak diperlukan. Cabaran sebenar ialah persaingan; cepat merebut peluang yang terhidang; mempunyai kelebihan (edge) dalam bidang-bidang strategik dan utama; mampu menarik minat pelabur, rakan kongsi; mempunyai teknologi yang sesuai (hands on) dan canggih (state of the art); dan sebagainya.
Dari segi modal, atau sumber kewangan, Malaysia kini tidak begitu berdepan dengan masalah. Rekod pembayaran hutang luar yang cepat, pembangunan yang berterusan, penjanaan ekonomi domestik yang menggalakkan, di samping pelbagai insentif untuk pelabur luar dan dalaman yang senantiasa diperkemaskan, menjadi antara faktor-faktor yang mampu mencambahkan kegiatan ekonomi negara. Lagi pun bon keluaran negara mampu menarik minat pelabur antarabangsa. Malaysia meraih rating yang baik daripada masyarakat pelabur.
Selain itu, Malaysia juga mempunyai rekod yang baik dengan negara-negara jiran dan luar - sejauh Afrika dan Amerika Selatan. Pelabur Malaysia senantiasa diperingatkan supaya berhemah, tidak mengeksploitasi, mendiskriminasi negara-negara pelaburan mereka. Sekali lagi inilah juga aspek yang menjadi titik nilai ajaran Islam. Akibatnya, nama Malaysia begitu popular, dan Petronas adalah antara syarikat yang paling disegani di negara-negara miskin dan membangun.
Semua ini adalah contoh-contoh kemajuan, pelaburan, kegiatan ekonomi serta perdagangan dan perniagaan yang biasa (normal) di persada dunia. Apakah Islam Hadhari mempunyai ciri-ciri pembangunan yang istimewa?
Jawapannya ialah ya!
PEMBANGUNAN ALA ISLAM HADHARI
Apabila ilmu ekonomi diterimapakai di Malaysia, yang menjadikan Islam sebagai agama rasmi, Malaysia tidak dapat lari daripada melihat kesan ekonomi ini dari sudut yang berbeza. Dengan kata lain, bukan kerana Malaysia adalah bekas tanah jajahan, fobia terhadap neo-kolonialisme, ataupun terpengaruh dengan pergerakan Islam antarabangsa.
Malaysia sememangnya mempunyai pandangan tersendiri dan acuan negaranya yang pelbagai kaum ini merencahkan suatu pendekatan yang tersendiri.
Walau apa pun, pendekatan ini semestinya, tidak lari dari ajaran Islam. Justeru, nilai-pandu yang murni dan mulia, yang terdapat dalam ajaran Islam mendorong Malaysia untuk memperaktikkannya. Ini bukan sahaja ditujukan pada usaha mewujudkan makanan halal yang kini sudah menjadi satu produk bertaraf antarabangsa ataupun mewujudkan produk kewangan Islam, perbankan Islam, bon Islam dan seumpamanya.
Malaysia mempunyai wawasan yang lebih penting daripada hal-hal yang sekadar terlibat secara langsung dengan bidang ekonomi. Ini kerana ilmu ekonomi lahir dari Barat, manakala nilai moral dan etika dalam perniagaan dan perdagangan muncul dalam Islam – dua aspek utama ekonomi - dari sunnah Nabi saw. dan ayat-ayat suci al-Quran.
Penggabungan antara ilmu dan nilai ini pastinya menjadikan ´perkhidmatan´ kepada masyarakat bertambah berkualiti. Apa lagi apabila ekonomi, sebagai ilmu, adalah juga bererti sebagai alat yang boleh digunakan untuk pelbagai tujuan dan sasaran.
Sifat talam dua muka ilmu ini perlu dibendung dan di sinilah moral dan etika Islam memainkan peranan penting dan sungguh bermakna. Inilah juga yang menjadi asas dan sasaran-motif Islam Hadhari dalam bidang pembangunan dan kemajuan bila meletakkan keseimbangan dan komprehensif sebagai neraca perencanaan.
Ini juga tidak bererti Islam Hadhari akan terhenti pada satu-satu takuk tertentu. Sebaliknya, segala ciri-ciri keseimbangan perlu diperincikan dengan lebih tuntas lagi. Begitu juga dengan aspek-aspek yang terkandung dalam perancangan yang komprehensif. Pastinya aspek-aspek ekonomi akan ditambah dari masa ke semasa agar pencapaian tidak dihakiskan dengan cabaran atau persoalan baru yang muncul kesan dari perubahan-perubahan yang berlaku.
Apa yang jelas, walau apa situasi dan kondisi sekali pun, nilai moral dan etika dalam kegiatan ekonomi perlu dipastikan tidak terhakis. Ini kerana nilai-nilai inilah yang bakal menjamin kesinambungan pembangunan yang berterusan, tanpa diganggu-gugat oleh unsur ketidakadilan, pengeksploitasian, diskriminasi dan sebagainya. Lantas mengukuhkan asas-asas ketamadunan Islam Hadhari.
Sesungguhnya nilai tatacara menjalankan aktiviti perekonomian Islam Hadhari bertitik-tolak daripada pengharaman riba dan keizinan berniaga. Titik perbezaan antara pengambilan riba dan perolehan untung perlu didalami kerana manusia begitu pintar mencipta istilah dan kaedah yang boleh mengelirukan orang ramai ataupun khalayak pengguna. Konsekwennya ke atas para ulama dan cendekiawan Islam.
Ini kerana tabii semula jadi manusia yang inginkan keuntungan atau lebih dikenali dewasa ini sebagai untuk cepat kaya. Manusia boleh berusaha untuk hidup seribu tahun lagi, tetapi untuk beramal (termasuk kebajikan dan berperikemanusiaan) seolah-olah akan mati pada esok hari adalah sesuatu yang sukar dilakukan. Di sinilah terletaknya peranan pemerintah, kerajaan, pertubuhan bukan kerajaan, dan tidak ketinggalan juga, orang ramai yang perlu bertugas sebagai ´muhtasib´ (menyemak bagi memastikan segala aktiviti perniagaan dan perdagangan berjalan mengikut tatacara yang sewajarnya). Institusi ‘muhtasib’ ini sudah wujud dalam masyarakat Islam lebih 800 tahun yang lalu.
Inilah titik keseimbangan dan komprehensif yang perlu ditekankan oleh Islam Hadhari. Keuntungan berlebihan dan tanpa kawalan akan hanya mengundang padah sebagaimana yang pernah berlaku di beberapa negara di Amerika Selatan. Dengan kata lain, keseimbangan dan pembangunan yang komprehensif bukanlah saja bererti pembahagian ekonomi yang meluas dan seimbang antara pelbagai kaum yang menjadi warga sesebuah negara.
Keseimbangan juga diperlukan dalam aspek kewujudan golongan kaya. Komunisme muncul akibat ketidakseimbangan penduduk antara kaya dan miskin. Kapitalisme di tentang kerana mengizinkan atau hanya mewujudkan peluang untuk mereka yang bermodal saja. Islam pula sering mengaturkan tatacara kehidupan miskin-kaya dengan bermaruah dan jaminan, iaitu dengan prinsip harta orang kaya adalah sebahagiannya milik orang miskin.
Prinsip sebeginilah juga yang diperjuangkan dalam Islam Hadhari. Malah banyak lagi prinsip dalam Islam yang perlu diketengahkan bagi mewujudkan keseimbangan dalam pembangunan.
Antaranya ialah:
1. golongan berada tidak disekat daripada meneruskan aktiviti pengumpulan harta kekayaan;
2. zakat dikenakan bagi mengagih-agihkan kekayaan dan menjanakan ekonomi serta silaturrahim antara kaya-miskin;
3. bersedekah (membantu mereka yang berada dalam kesempitan) adalah perbuatan yang mulia;
4. membayar upah sebelum peluh kering;
5. sifat amanah;
6. menjaga kualiti; dan banyak lagi.
Semua nilai Islam ini perlu ada dalam program keseimbangan dan ditentukan pula mekanisme yang sewajarnya. Ini akan diusahakan kerana bersesuaian dengan amalan Islam Hadhari.
Dengan itu, adalah bertepatan apabila dikatakan Islam Hadhari di Malaysia sudah lama dipraktikkan. Ini lebih kurang sama dengan situasi menamakan bendera Malaysia sebagai Jalur Gemilang. Rupa bentuk dan ciri-cirinya tidak berubah walaupun nama baru muncul. Demikianlah juga dengan Islam Hadhari.
Antara contoh ciri-ciri Islam Hadhari yang pernah dipraktikkan oleh Malaysia sebelum ini ialah:
1. menghormati sensitiviti kaum lain melalui pendemokrasian pendidikan;
2. ketelusan dalam pentadbiran;
3. kebebasan dalam meneroka peluang perniagaan;
4. mengatur-urus projek mega seperti projek Koridor Raya Multimedia;
5. menyeru tanggungjawab sosial ke atas syarikat dan tokoh korporat;
6. perkongsian di setiap peringkat syarikat antara pelbagai kaum;
7. bertukar teknologi dan maklumat;
8. mengikut kehendak masyarakat serantau dan antarabangsa; dan banyak lagi.
VISI DAN MISI ISLAM HADHARI
Jika diperhalusi hala Islam Hadhari dalam pembangunan bukanlah untuk memonopolikan pembangunan hanya untuk ummah saja. Mereka yang bukan dari kalangan umat Islam tidak perlu gusar dan ragu. Mereka diajak bersama-sama memainkan peranan dan bekerjasama untuk kedamaian.
Bahkan Islam Hadhari mengajak dan terbuka kepada semua kaum, semua bangsa, tanpa mengira agama ataupun status (pembangunan). Tentu syaratnya ialah mereka perlu mempunyai sikap mahabbah (persahabatan) sebagaimana yang telah diberikan oleh sejumlah besar negara Asia. Sikap seperti New Zealand dan Australia yang tidak ingin menandatangani Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama (TAC) ternyata tidak sesuai dengan Islam Hadhari.
Mewujudkan komuniti yang bersahabat dan bekerjasama adalah selaras dengan ajaran Islam. Komuniti Asia mungkin dapat diwujudkan melalui asas-dasar ini, dan ini pasti menjamin kestabilan, keamanan dan pembangunan komuniti dalam bentuk yang lebih baru dan segar.
KESIMPULAN
Semua ini menjadikan pembangunan Islam Hadhari yang seimbang dan komprehensif satu landasan-contoh untuk semua. Lihat saja bagaimana bidang-bidang kerjasama dipanjangkan dari masa ke semasa di kalangan negara-negara ASEAN… dan Malaysia, dengan nilai-nilai Islam Hadhari, rela menjadi tapak ujian pembangunan untuk kepentingan semua bangsa dan negara.
Malaysia telah pun melakukannya sebelum ini. Perkongsian bestari, makmurkan jiran, membuka pusat inkubator MSC pada semua, adalah antara beberapa kes bagaimana dasar ini diuji sehingga memperoleh kejayaan.
Masa akan menentukan Islam Hadhari muncul sebagai satu eksperimen yang tidak dapat dilupakan oleh manusia seluruhnya.
“Demi masa, manusia berada dalam kesesatan.” Akan tetapi, selagi berpegang pada kitab (al-Quran) dan hadis (As-Sunnah), ummah terjamin keselamatannya!
JIKA pembangunan ekonomi dilakukan dengan tujuan memenuhi kehendak manusia seperti makan, minum, pakaian dan tempat tinggal, maka ia adalah pembangunan ekonomi yang menjadi intipati pada ideologi Komunisme. Jika pembangunan ekonomi dilakukan bagi memenuhi keperluan material, fizikal, kemudahan dan keselesaan, maka ia adalah pembangunan ekonomi yang amat dipentingkan dalam fahaman Kapitalisme. Jika pembangunan ekonomi perlu pula memastikan keadilan sosial terlaksana, maka ia adalah selaras dengan fahaman Sosialisme.
Antara isme-isme ini yang masih kekal berpengaruh ialah kapitalisme, yang menjadi teras kegerakan ekonomi Amerika Syarikat dan Barat amnya. Prinsip-prinsip komunisme semakin hari semakin dihakiskan dengan pembangunan yang berteraskan pada mekanisme kapitalisme, seperti pasaran terbuka, ekonomi bebas, menggalakkan pelaburan antarabangsa dan global, liberalisasi dan kekuasaan pasaran, persaingan bebas dan seumpamanya.
Sementara itu, keadilan sosial pula hanya dilaksanakan melalui agenda bantuan, derma, pembiayaan melalui yayasan ´philanthropist´ (kebajikan) dan sebagainya, termasuklah pinjaman jangka masa panjang. Biasanya mana-mana pihak yang menerima ´bantuan´ ini akan terasa terhutang budi sehingga terpaksa menyerahkan sebahagian dari kek ekonomi negaranya kepada si penderma.
Walau apapun, kesan ke atas ekonomi dan kehidupan rakyat, khususnya terhadap negara baru merdeka, yang majoritinya miskin dan mundur - mengikut perspektif kapitalis Barat – amatlah mendukacitakan. Mereka didapati terus bergantung kepada negara-negara maju Barat dalam serba hal, termasuklah apa yang dinamakan sebagai bantuan kewangan. Lalu situasi ´telunjuk lurus kelingking berkait´ pun berlaku sehingga negara-negara Dunia Ketiga terus berada dalam genggaman negara-negara maju Barat. Mereka pun tidak mampu keluar dari kepompong kemiskinan dan kemunduran.
Situasi sebegini turut dialami oleh negara-negara Islam, termasuklah negara dan bangsa tempat kelahiran Islam. Pengabaian ajaran Islam oleh umatnya boleh dikatakan bermula semenjak kewafatan Nabi Muhammad s.a.w lagi. Paling ketara dan disebut secara jelas ialah apabila bangsa barbar Turk menakluk negara Islam, dan kemudiannya mereka sendiri memeluknya, lalu wujudlah Daulah Uthmaniyah.
Sejarah sebegini menunjukkan betapa kebesaran Islam yang tidak semestinya memilih umat yang mengakui sebagai penganutnya, tetapi pada masa yang sama, mengabaikan ajaran-ajaran yang telah ditentukan.Sesungguhnya, Islam mempunyai cara yang tersendiri untuk terus berada di persada dunia. Apa yang sedang berlaku di Malaysia adalah satu lagi contoh bagaimana ummah yang kecil dan tidak dikenali boleh menjadi contoh apabila ajaran Islam dipegangi dengan sekuat-kuatnya. Demikianlah gambaran ringkas betapa Islam mampu memandu-arah manusia ke arah kegemilangan. Jika sejarah kebangkitan dan pengembangan Islam disifatkan sebagai bunga bersama pedang, rentetan sejarah kebangkitan semula Islam menunjukkan sebaliknya.Pedang hanyalah ketika mempertahankan diri dan hak. Dengan itu, hak asasi manusia, manusia adalah bersaudara, demokrasi, keadilan sosial, adalah antara unsur-unsur yang sememangnya diperjuangkan oleh Islam. Cuma, oleh kerana kuasa hari ini dipegang oleh Barat, maka Barat pun mengakui bahawa semua itu adalah ciptaan mereka.PENGALAMAN MALAYSIAKetika Malaysia mendapat kemerdekaan, suara yang sama wujud. Malaysia tidak dipercayai dapat mengisi kemerdekaan kerana tidak mempunyai ilmu, lemah, miskin, memerlukan bantuan dalam serba hal dan sebagainya. Namun, kemajuan dan pembangunan dapat dilaksanakan, dan Peristiwa 13 Mei 1969, memberi pengajaran baru kepada pemimpin negara agar lebih berhati-hati, lalu terhasillah Dasar Ekonomi Baru (DEB).
Sehingga kini DEB tetap menjadi asas kepada program kemajuan, walau pun dalam Wawasan 2020, yang diformulakan dalam tahun 1990, yang bertujuan untuk menjadikan Malaysia sebagai sebuah negara maju. Cabaran-cabaran baru yang muncul tetap tidak menggugat premis dan kerangka DEB. Sebaliknya, DEB tetap menjadi panduan dan garis utama untuk tapak-tapak pembangunan dan kemajuan seterusnya.
Kesannya sungguhlah memberangsangkan. Malaysia kini muncul sebagai negara contoh kepada negara-negara membangun lain; negara Islam contoh kepada negara-negara Islam yang ternyata masih belum dapat keluar dari pengaruh dan cengkaman Barat apabila cuba memenuhi kehendak rakyat dan negara dalam pembangunan.
Kini kehadiran negara-negara luar untuk mempelajari pengalaman Malaysia adalah suatu bentuk perhubungan antarabangsa yang baru. Wakil dari Malaysia diajak menjadi pengurus-tadbir pembangunan sesebuah negara. PERANAN AJARAN ISLAM Dalam apa jua situasi sekali pun, ajaran Islam tetap menjadi pegangan dan pedoman bagi Malaysia.
Selepas merdeka, Islam didakwa sebagai tidak mempunyai ilmu ekonomi yang diperlukan untuk membangunkan negara atau membawa kemajuan kepada negara. Islam dikatakan hanya mempunyai ajaran ibadah dan kepercayaan saja.Para intelek dan cendekiawan Islam bangkit dan menafikan kata-kata ini. Mereka bertegas menyatakan bahawa Islam adalah agama yang syumul, yang bermaksud mencakupi segala aspek kehidupan… dan bidang ekonomi pun tidak tertinggal.
Para cendekiawan Islam pun sibuk mengIslamisasikan ilmu-ilmu yang datang dari Barat. Dengan itu, muncullah istilah seperti ekonomi Islam. Usaha ini digerakkan oleh kumpulan moderat Islam, yang terdiri dari cendikiawan berpendidikan Barat, berkongsi pendapat dengan pemodenan dan kemajuan. Namun, ada yang melihat usaha mengIslamisasikan ilmu yang mencakupi bukan saja ekonomi bahkan juga sains, sebagai usaha mengada-ada kerana tidak mahu dan malu mengakui bahawa apa yang sedang mereka lakukan ialah meniru, menyesuaikan ilmu dari Barat yang sekular, bersifat Kristian, dan ciptaan manusia yang dianggap sebagai lemah dan berubah-ubah.
Berbanding dengan ayat suci al-Quran dan Sunnah, maka akal manusia dilihat sebagai tidak begitu perlu dijadikan asas tindakan selanjutnya. Malaysia memerhati keseluruhan perkembangan dan kemajuan yang berlaku dalam dunia Islam ini. Dari gerakan yang sederhana, muncul pula gerakan yang semakin taksub. Fundamental Islam diwajahkan sebagai ekstrem, dan puak berhaluan militan tampil di tengah-tengah masyarakat Islam yang sepatutnya merupakan sebuah masyarakat yang cintakan keamanan dan kedamaian.Malaysia mengikuti semua perkembangan ini.
Tindakan-tindakan Malaysia dijadikan bahan tumpuan utama. Mutakhirnya, didapati apa yang berlaku adalah sesuatu perkara yang sememangnya mengikut landasan agama. Ia bersifat ketamadunan dan ini perlu diperkukuhkan. Apa yang sedang berlaku di negara-negara Arab adalah kerana situasi politik semasa yang mendapat tekanan dari, sekali lagi, kuasa Barat. Perjuangan dan penentangan untuk mendapatkan kemerdekaan dikatakan sebagai pemberontakan.
Justeru, Islam Hadhari pun menjadi istilah yang dipilih untuk menggambarkan apa yang sedang dilakukan oleh Malaysia, bukan saja kepada umat tempatan, ataupun kepada negara-negara Islam, bahkan dunia seluruhnya, termasuklah Barat. Menamakan pendekatan ala Malaysia ini penting bagi membezakan ajaran Islam dengan perjuangan sebuah ummah yang dinafi-rampas hak mereka. Dengan kedudukan dan taraf Malaysia sebagai negara Islam contoh, maka istilah ini menjadi perhatian dunia.
INTISARI PEMBANGUNAN ISLAM HADHARI. Apa yang lebih mencabar ialah merealisasikan pembangunan ekonomi secara seimbang dan komprehensif. Sungguhpun begitu, ini bukanlah bermakna Islam Hadhari hanya mempunyai falsafah ekonomi yang sebegini saja. Ini adalah lebih difahami sebagai bersesuaian dengan konteks Malaysia.Kalau diperhatikan kandungan Islam Hadhari yang telah digariskan oleh Perdana Menteri Malaysia, agenda pembangunan ekonomi ini bukanlah suatu bentuk pembangunan yang tidak ada kaitan dengan agenda-agenda lain, yang kesemuanya berjumlah 10 perkara.
Pembangunan ekonomi ini boleh dikaitkan dengan penguasaan ilmu pengetahuan, yang sudah tentunya bidang atau ilmu ekonomi turut terlibat. Melalui perbankan Islam, banyak istilah produk kewangan diketengahkan seperti ‘bait mal ajil’, ‘mudharabah’, ‘murabahah’ dan sebagainya. Para anggota panel syariah ternyata mempunyai mekanisme yang sewajarnya untuk digunakan bagi mengasingkan ajaran Islam dengan amalan konvensional dalam perbankan. Dengan itu tumbuhlah sebahagian daripada ilmu ekonomi.Begitu juga dengan agenda kehidupan berkualiti; memastikan hak minoriti dan wanita; budaya dan moral; dan seterusnya, pemeliharaan alam sekitar. Semua agenda-agenda ini pastinya saling berkait bagi menguatkan lagi pengertian melakarkan Islam Hadhari.
Sungguhpun begitu, tumpuan utama ialah keseimbangan pembangunan dan sifat komprehensif yang perlu diwujudkan dalam perencanaan pembangunan.
i) Pembangunan Yang Seimbang
Konsep keseimbangan pembangunan ini adalah berteraskan pada ajaran Islam yang ingin melahirkan ummah yang seimbang, ´ummatan wasata´. Walaupun maksud ´wasata´ yang ditujukan pada ummah ini hanya bermaksud seimbang dari segi emosi dan mental, fizikal dan kerohanian, intelek dan kemampuan, potensi dan keupayaan dan seterusnya, namun apabila diaplikasikan pada pembangunan, ternyata ia lebih meluas dan menyeluruh.
Bajet yang berhemah, seimbang, adalah antara konsep-konsep bajet yang pernah menjadi pendekatan dalam belanjawan negara. Maksud utamanya ialah hasrat bajet yang cuba mewujudkan dan melahirkan suatu dimensi ekonomi yang seimbang untuk semua kaum. Ini selaras dengan situasi negara yang mempunyai pelbagai jenis warganegara iaitu pelbagai kaum dan kebudayaan, agama, kepercayaan dan sebagainya. Semuanya perlu diberikan hak dan peluang yang sama. Lantas, seimbang dan dari keseimbangan ini terpancarlah keadilan, yang dapat memuaskan semua pihak.Apabila diperhalusi adalah ternyata bahawa dasar keseimbangan yang pernah diwujudkan semenjak 1970 melalui DEB, adalah merupakan dasar yang secucuk dengan ajaran Islam.
Walaupun pencapaian DEB adalah terbatas sehingga terpaksa dilanjutkan setelah tempoh tamatnya, 1990, tidak dapat menghasilkan keseimbangan sebagaimana yang dirancang, namun kesan dan impaknya adalah sungguh positif, bermanfaat, menggalakkan dan terpentingnya, mampu menjanakan pertumbuhan ekonomi sehingga tidak pernah dicapai oleh mana-mana negara di dunia sebelum ini.Sesungguhnya, ini adalah bukti keberkesanan, bukti kerelevanan konsep pembangunan yang seimbang.
Dengan itu, maksud pembangunan seimbang adalah bermaksud seimbang dari segi peratusan ekuiti, pengurusan dan kakitangan, persyarikatan, perindustrian, perbankan, kewangan dan seterusnya… dalam semua sektor. Hal ini juga diteruskan dalam kerangka perdangan antarabangsa Malaysia, yang menerima asas globalisasi dan liberalisasi Pertubuhan Perdagangan Dunia (WTO).2) Pembangunan Yang KomprehensifBegitu jugalah dalam konteks komprehensif. Sememangnya dasar keseimbangan ini berlaku dalam sektor-sektor yang menyeluruh dan sektor-sektor ini diperlebarkan dari masa ke semasa. Ini penting dan diperlukan adalah kerana pengalaman pahit dan hitam 13 Mei mengajar bahawa pembahagian kek ekonomi mampu meredakan perbalahan atau perselisihan antara warga yang berbilang kaum.
Ertinya, keseimbangan dalam ‘pembahagian kek ekonomi negara’ dan secara komprehensif ini mampu menyatupadukan seluruh warga Malaysia.Meskipun dapat diterima bahawa pembangunan ekonomi bukanlah semestinya menjadi satu-satunya cara untuk mencapai perpaduan pelbagai kaum, namun aspek ekonomi mampu melonjakkan keperluan untuk mengekalkan perpaduan. Ini tidak boleh dinafikan dan diperlekehkan lagi. Mereka yang mengkritik perpaduan melalui pembahagian ekonomi yang komprehensif, tidak dapat membuktikan bahawa strategi dan serampang perancangan ekonomi sebegini tidak berfungsi. Ia sudah menjadi satu realiti, bukan lagi sekadar pemikiran yang belum teruji.
PERLUNYA KAJIAN KESEIMBANGAN Sememangnya, untuk mencapai tahap keseimbangan ini amatlah sukar. Namun, kesukaran ini perlu dilihat lebih sebagai cabaran dan ujian. Inilah fahaman dan minda proaktif yang perlu ada.Lagi pun, ajaran Islam sememangnya menegaskan cabaran dan ujian adalah lumrah. Ini terbukti apabila setiap daripada umat Islam akan diuji sebaik saja mereka mengakui memeluk Islam. Dengan kata lain, kesukaran perlu diterima seadanya dan seterusnya mencari jalan-jalan yang boleh sekurang-kurangnya meredakannya.Begitu jugalah dengan persaingan yang menjadi ciri utama dalam dunia perniagaan yang dikuasai oleh tatacara kapitalisme. Cuma persaingan itu mestilah sihat dan adil. Inilah yang telah ditegaskan oleh bekas Perdana Menteri, Tun DrMahathir Mohamad ketika menjelaskan maksud ´level playing field´ (tahap kesaksamaan apabila bersaing). Kemampuan dan potensi perlu juga diambil kira, bukan saja faktor modal.1) Ciri dan Cabaran KeseimbanganSatu perkara yang perlu diingati di sini ialah apabila konsep keseimbangan ´wasata´ ini diterimakai, tersirat di dalamnya ialah kejujuran dan keikhlasan. Ini adalah dua faktor ´ke dalam´ yang amat penting dan sering menjadi perhatian dan komentar pelbagai pihak khususnya parti politik pembangkang. Walau apapun, adalah jelas dan nyata rakyat tidak terpengaruh dan memahami telatah parti pembangkang yang tidak senang dengan kejayaan kerajaan yang ada.
Mereka sanggup mengkritik apa jua perancangan kerajaan. Mereka pula berselindung di sebalik kononnya untuk memainkan peranan pencegah kemungkaran seperti judi, arak, kelab malam, peningkatan jenayah dan sebagainya. Namun, mereka tidak dapat menerima pula bahawa peranan pencegah kemungkaran mereka itu hanya menghasilkan situasi yang lebih buruk – mengancam perpaduan sesama ummah. Apabila dikatakan mereka ekstrem, mereka menafikannya dan mengaku tidak bertanggungjawab pula. Inilah taktik lempar batu sembunyi tangan. Malah taktik ini lebih kurang sama dengan “mat rempit” ataupun “mat motor” yang memarahi pihak berkuasa apabila menyekat kegiatan mereka yang menyalahi undang-undang dan mengancam ketenteraman awam. Mereka tidak tahu untuk menjadi pencegah kemungkaran.
Demikianlah gambaran cabaran yang tidak diperlukan. Cabaran sebenar ialah persaingan; cepat merebut peluang yang terhidang; mempunyai kelebihan (edge) dalam bidang-bidang strategik dan utama; mampu menarik minat pelabur, rakan kongsi; mempunyai teknologi yang sesuai (hands on) dan canggih (state of the art); dan sebagainya.
Dari segi modal, atau sumber kewangan, Malaysia kini tidak begitu berdepan dengan masalah. Rekod pembayaran hutang luar yang cepat, pembangunan yang berterusan, penjanaan ekonomi domestik yang menggalakkan, di samping pelbagai insentif untuk pelabur luar dan dalaman yang senantiasa diperkemaskan, menjadi antara faktor-faktor yang mampu mencambahkan kegiatan ekonomi negara. Lagi pun bon keluaran negara mampu menarik minat pelabur antarabangsa. Malaysia meraih rating yang baik daripada masyarakat pelabur.
Selain itu, Malaysia juga mempunyai rekod yang baik dengan negara-negara jiran dan luar - sejauh Afrika dan Amerika Selatan. Pelabur Malaysia senantiasa diperingatkan supaya berhemah, tidak mengeksploitasi, mendiskriminasi negara-negara pelaburan mereka. Sekali lagi inilah juga aspek yang menjadi titik nilai ajaran Islam. Akibatnya, nama Malaysia begitu popular, dan Petronas adalah antara syarikat yang paling disegani di negara-negara miskin dan membangun.
Semua ini adalah contoh-contoh kemajuan, pelaburan, kegiatan ekonomi serta perdagangan dan perniagaan yang biasa (normal) di persada dunia. Apakah Islam Hadhari mempunyai ciri-ciri pembangunan yang istimewa?
Jawapannya ialah ya!
PEMBANGUNAN ALA ISLAM HADHARI
Apabila ilmu ekonomi diterimapakai di Malaysia, yang menjadikan Islam sebagai agama rasmi, Malaysia tidak dapat lari daripada melihat kesan ekonomi ini dari sudut yang berbeza. Dengan kata lain, bukan kerana Malaysia adalah bekas tanah jajahan, fobia terhadap neo-kolonialisme, ataupun terpengaruh dengan pergerakan Islam antarabangsa.
Malaysia sememangnya mempunyai pandangan tersendiri dan acuan negaranya yang pelbagai kaum ini merencahkan suatu pendekatan yang tersendiri.
Walau apa pun, pendekatan ini semestinya, tidak lari dari ajaran Islam. Justeru, nilai-pandu yang murni dan mulia, yang terdapat dalam ajaran Islam mendorong Malaysia untuk memperaktikkannya. Ini bukan sahaja ditujukan pada usaha mewujudkan makanan halal yang kini sudah menjadi satu produk bertaraf antarabangsa ataupun mewujudkan produk kewangan Islam, perbankan Islam, bon Islam dan seumpamanya.
Malaysia mempunyai wawasan yang lebih penting daripada hal-hal yang sekadar terlibat secara langsung dengan bidang ekonomi. Ini kerana ilmu ekonomi lahir dari Barat, manakala nilai moral dan etika dalam perniagaan dan perdagangan muncul dalam Islam – dua aspek utama ekonomi - dari sunnah Nabi saw. dan ayat-ayat suci al-Quran.
Penggabungan antara ilmu dan nilai ini pastinya menjadikan ´perkhidmatan´ kepada masyarakat bertambah berkualiti. Apa lagi apabila ekonomi, sebagai ilmu, adalah juga bererti sebagai alat yang boleh digunakan untuk pelbagai tujuan dan sasaran.
Sifat talam dua muka ilmu ini perlu dibendung dan di sinilah moral dan etika Islam memainkan peranan penting dan sungguh bermakna. Inilah juga yang menjadi asas dan sasaran-motif Islam Hadhari dalam bidang pembangunan dan kemajuan bila meletakkan keseimbangan dan komprehensif sebagai neraca perencanaan.
Ini juga tidak bererti Islam Hadhari akan terhenti pada satu-satu takuk tertentu. Sebaliknya, segala ciri-ciri keseimbangan perlu diperincikan dengan lebih tuntas lagi. Begitu juga dengan aspek-aspek yang terkandung dalam perancangan yang komprehensif. Pastinya aspek-aspek ekonomi akan ditambah dari masa ke semasa agar pencapaian tidak dihakiskan dengan cabaran atau persoalan baru yang muncul kesan dari perubahan-perubahan yang berlaku.
Apa yang jelas, walau apa situasi dan kondisi sekali pun, nilai moral dan etika dalam kegiatan ekonomi perlu dipastikan tidak terhakis. Ini kerana nilai-nilai inilah yang bakal menjamin kesinambungan pembangunan yang berterusan, tanpa diganggu-gugat oleh unsur ketidakadilan, pengeksploitasian, diskriminasi dan sebagainya. Lantas mengukuhkan asas-asas ketamadunan Islam Hadhari.
Sesungguhnya nilai tatacara menjalankan aktiviti perekonomian Islam Hadhari bertitik-tolak daripada pengharaman riba dan keizinan berniaga. Titik perbezaan antara pengambilan riba dan perolehan untung perlu didalami kerana manusia begitu pintar mencipta istilah dan kaedah yang boleh mengelirukan orang ramai ataupun khalayak pengguna. Konsekwennya ke atas para ulama dan cendekiawan Islam.
Ini kerana tabii semula jadi manusia yang inginkan keuntungan atau lebih dikenali dewasa ini sebagai untuk cepat kaya. Manusia boleh berusaha untuk hidup seribu tahun lagi, tetapi untuk beramal (termasuk kebajikan dan berperikemanusiaan) seolah-olah akan mati pada esok hari adalah sesuatu yang sukar dilakukan. Di sinilah terletaknya peranan pemerintah, kerajaan, pertubuhan bukan kerajaan, dan tidak ketinggalan juga, orang ramai yang perlu bertugas sebagai ´muhtasib´ (menyemak bagi memastikan segala aktiviti perniagaan dan perdagangan berjalan mengikut tatacara yang sewajarnya). Institusi ‘muhtasib’ ini sudah wujud dalam masyarakat Islam lebih 800 tahun yang lalu.
Inilah titik keseimbangan dan komprehensif yang perlu ditekankan oleh Islam Hadhari. Keuntungan berlebihan dan tanpa kawalan akan hanya mengundang padah sebagaimana yang pernah berlaku di beberapa negara di Amerika Selatan. Dengan kata lain, keseimbangan dan pembangunan yang komprehensif bukanlah saja bererti pembahagian ekonomi yang meluas dan seimbang antara pelbagai kaum yang menjadi warga sesebuah negara.
Keseimbangan juga diperlukan dalam aspek kewujudan golongan kaya. Komunisme muncul akibat ketidakseimbangan penduduk antara kaya dan miskin. Kapitalisme di tentang kerana mengizinkan atau hanya mewujudkan peluang untuk mereka yang bermodal saja. Islam pula sering mengaturkan tatacara kehidupan miskin-kaya dengan bermaruah dan jaminan, iaitu dengan prinsip harta orang kaya adalah sebahagiannya milik orang miskin.
Prinsip sebeginilah juga yang diperjuangkan dalam Islam Hadhari. Malah banyak lagi prinsip dalam Islam yang perlu diketengahkan bagi mewujudkan keseimbangan dalam pembangunan.
Antaranya ialah:
1. golongan berada tidak disekat daripada meneruskan aktiviti pengumpulan harta kekayaan;
2. zakat dikenakan bagi mengagih-agihkan kekayaan dan menjanakan ekonomi serta silaturrahim antara kaya-miskin;
3. bersedekah (membantu mereka yang berada dalam kesempitan) adalah perbuatan yang mulia;
4. membayar upah sebelum peluh kering;
5. sifat amanah;
6. menjaga kualiti; dan banyak lagi.
Semua nilai Islam ini perlu ada dalam program keseimbangan dan ditentukan pula mekanisme yang sewajarnya. Ini akan diusahakan kerana bersesuaian dengan amalan Islam Hadhari.
Dengan itu, adalah bertepatan apabila dikatakan Islam Hadhari di Malaysia sudah lama dipraktikkan. Ini lebih kurang sama dengan situasi menamakan bendera Malaysia sebagai Jalur Gemilang. Rupa bentuk dan ciri-cirinya tidak berubah walaupun nama baru muncul. Demikianlah juga dengan Islam Hadhari.
Antara contoh ciri-ciri Islam Hadhari yang pernah dipraktikkan oleh Malaysia sebelum ini ialah:
1. menghormati sensitiviti kaum lain melalui pendemokrasian pendidikan;
2. ketelusan dalam pentadbiran;
3. kebebasan dalam meneroka peluang perniagaan;
4. mengatur-urus projek mega seperti projek Koridor Raya Multimedia;
5. menyeru tanggungjawab sosial ke atas syarikat dan tokoh korporat;
6. perkongsian di setiap peringkat syarikat antara pelbagai kaum;
7. bertukar teknologi dan maklumat;
8. mengikut kehendak masyarakat serantau dan antarabangsa; dan banyak lagi.
VISI DAN MISI ISLAM HADHARI
Jika diperhalusi hala Islam Hadhari dalam pembangunan bukanlah untuk memonopolikan pembangunan hanya untuk ummah saja. Mereka yang bukan dari kalangan umat Islam tidak perlu gusar dan ragu. Mereka diajak bersama-sama memainkan peranan dan bekerjasama untuk kedamaian.
Bahkan Islam Hadhari mengajak dan terbuka kepada semua kaum, semua bangsa, tanpa mengira agama ataupun status (pembangunan). Tentu syaratnya ialah mereka perlu mempunyai sikap mahabbah (persahabatan) sebagaimana yang telah diberikan oleh sejumlah besar negara Asia. Sikap seperti New Zealand dan Australia yang tidak ingin menandatangani Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama (TAC) ternyata tidak sesuai dengan Islam Hadhari.
Mewujudkan komuniti yang bersahabat dan bekerjasama adalah selaras dengan ajaran Islam. Komuniti Asia mungkin dapat diwujudkan melalui asas-dasar ini, dan ini pasti menjamin kestabilan, keamanan dan pembangunan komuniti dalam bentuk yang lebih baru dan segar.
KESIMPULAN
Semua ini menjadikan pembangunan Islam Hadhari yang seimbang dan komprehensif satu landasan-contoh untuk semua. Lihat saja bagaimana bidang-bidang kerjasama dipanjangkan dari masa ke semasa di kalangan negara-negara ASEAN… dan Malaysia, dengan nilai-nilai Islam Hadhari, rela menjadi tapak ujian pembangunan untuk kepentingan semua bangsa dan negara.
Malaysia telah pun melakukannya sebelum ini. Perkongsian bestari, makmurkan jiran, membuka pusat inkubator MSC pada semua, adalah antara beberapa kes bagaimana dasar ini diuji sehingga memperoleh kejayaan.
Masa akan menentukan Islam Hadhari muncul sebagai satu eksperimen yang tidak dapat dilupakan oleh manusia seluruhnya.
“Demi masa, manusia berada dalam kesesatan.” Akan tetapi, selagi berpegang pada kitab (al-Quran) dan hadis (As-Sunnah), ummah terjamin keselamatannya!
TIPOLOGI MASYARAKAT ARAB KONTEMPORER [1 of 4]
TULISAN ini berusaha meletakkan parameter ideologis-kultural sebagai dasar untuk memahami masyarakat Islam umumnya dan masyarakat Arab khususnya. Penulis akan menyoroti keberadaan dua tipe masyarakat yang berada dalam satu negara yang meliputi dua kriteria sebagai berikut.
Pertama, masyarakat asli (tradisional) yang pada umumnya mempertahankan pola masyarakat Islam, yakni masyarakat yang berpegang teguh pada warisan dan tradisi serta memelihara sejarah. Masyarakat ini berfungsi sebagai penerus pola sosial masa lampau di bawah dominasi kolonialisme.
Kedua, masyarakat modern yang terbentuk di bawah pengaruh dominasi kolonial asing. Mereka berusaha menegakkan modernisasi ala Barat, sehingga pola pemikiran, gaya hidup, dan konsep-konsep Barat mewarnai masyarakat tipe ini.1
Mengapa Menggunakan Pendekatan Ideologis-Kultural?
Sebagian cendekiawan yang terpengaruh metodologi penelitian Barat menganggap bahwa pemakaian pendekatan ideologis-kultural dalam memahami masyarakat Arab-Islam merupakan suatu bias ilmiah. Ini karena konotasi ilmiah dalam tradisi berpikir mereka terbatas pada metode tertentu yang disepakati mereka. Artinya, mereka menganggap metode yang berbeda parameter, konsep, dan contoh historisnya dengan metode Barat sebagai metode yang tidak ilmiah.
Akan tetapi, jika kita menyepakati keabsahan tesis yang menyatakan bahwa corak masyarakat Islam jauh berbeda dengan corak-corak masyarakat yang didefinisikan Eropa, maka tesis ini sejak semula telah menggugurkan klaim keilmiahan metode-metode Barat yang selama ini digunakan untuk menganalisis masyarakat Arab-Islam.
Ini karena metode ilmiah tidak alergi terhadap data-data yang meliputi berbagai konsep, parameter, dan pola kemasyarakatan. Keilmiahan suatu penelitian ditentukan oleh sejauh mana penelitian itu mampu mengungkapkan fakta yang sebenarnya serta sejauh mana ia dapat meletakkan aspek-aspek tertentu pada proporsi yang sebenarnya. Bukan kesesuaiannya berdasarkan metode penelitian tertentu, misalnya metode Barat!
Selain itu, memahami realitas sosial negara Arab berdasarkan prinsip dikotomi antara dua tipe masyarakatnya adalah bertentangan dengan studi-studi pada umumnya, yang telah menganalisis sifat-sifat dasar masyarakat Arab-Islam, sehingga studi ini --yang memandang masyarakat Arab sebagai satu tipe-- akan menjadi studi yang menerapkan analogi-analogi masyarakat modern. Bila demikian, penelitian akan cenderung menafikan eksistensi masyarakat tradisional.
Meskipun benar bahwa masyarakat modern menguasai negara setelah jatuhnya kekuasaan kolonialisme dan berusaha menyatukan masyarakat di atas dasar dominasi dan pola modern, hal itu tidak berarti pihak yang tersisih (masyarakat tradisional --peny.) kehilangan eksistensi sama sekali dan harus tunduk pada garis masyarakat dan negara yang baru, sehingga mereka harus berbicara dengan bahasa modern dan menggunakan ukuran-ukurannya untuk memperoleh keberadaan yang diakui. Maka, lahirlah dualisme hukum dalam kancah ketegangan.
Sebab utama keabsahan penerapan pendekatan ideologis-kultural ini --kendati dipandang terdapat dua tipe masyarakat di negara-negara Arab-- dikembalikan kepada peran besar yang dimainkan oleh Islam dalam membentuk corak masyarakat Arab-Islam; suatu peran yang tidak ada duanya dibandingkan dengan tipe masyarakat manapun.
Islam menjadikan bangunan pemikiran ideologis sebagai salah satu syarat kokohnya konstruksi materi dan hubungan sosial. Sebab, seandainya masyarakat Arab-Islam mencoba melepaskan dirinya dari pusat ideologinya (Islam), niscaya ia akan tercerabut dari akar-akarnya, dan pada gilirannya akan mengalami kegoncangan.
Sebagai catatan, tesis mengenai program yang berangkat dari perspektif dualisme masyarakat dunia Islam, seyogianya disandarkan pada sejauh mana pandangan itu dapat diterapkan pada realitas.
Tipologi Pelaku Ekonomi
Bila kita berjalan-jalan di jantung kota-kota di Arab, kita akan menemui pasar-pasar tradisional dan pusat-pusat perbelanjaan modern. Kita dapat menyaksikan dua tipe areal yang perbedaannya sangat jauh, bahkan sangat mencolok. Kondisi semacam ini tak urung dapat ditemui juga di negara-negara Islam yang lain.
Dalam satu paket kebijaksanaan pemerintah terdapat dua komunitas pedagang, yaitu komunitas pedagang masyarakat tradisional dan komunitas pedagang masyarakat modern. Pada masing-masing komunitas tersebut, terdapat kelompok pedagang kecil, menengah, dan besar. Ada yang menempati bazar-bazar, pasar-pasar tradisional, gang-gang, dan perkampungan. Ada pula yang menempati kawasan elit.
Maka kita tidak sulit membayangkan dua tipe peradaban dari dua masyarakat yang berbeda di Arab. Termasuk di dalamnya: perbedaan nama, bahasa, cara berbicara, dan perilaku.
Tipologi Intelektual
Masalah ini akan tampak lebih jelas bila kita meneliti masalah pendidikan dan produknya. Terdapat dua tipe intelektual atau akademisi yang sangat kontras. Universitas-universitas yang mendasarkan diri pada sistem sekular mengedepankan corak kultur dan menelurkan alumninya yang tentu saja tidak lepas kaitannya dengan bentuk-bentuk kebudayaan Barat.
Perbedaan mencolok dapat kita lihat pada alumni al-Azhar (Mesir), Zaitunah (Tunisia), Qurawiyyin (Maroko), Qum (Iran), Najf (Irak), dan Fakultas Syariah di Suria dibandingkan dengan lulusan berbagai universitas di Paris, London, Washington, Moskow, atau institusi lokal yang modern. Tampak jelas adanya dua tipe pendidikan dan alumni yang dihasilkannya.
Dua tipe ini semakin terlihat tajam ketika diadakan pengamatan terhadap berbagai organisasi dan pranata kultural sebagai produk kebudayaan dan kalangan intelektual dalam masyarakat. Pada satu sisi, terdapat lembaga-lembaga studi keislaman dan pendidikan kebangsaan, masjid-masjid beserta halaqahnya, serta syekh tarekat dan para muridnya. Dari lembaga-lembaga ini muncullah berbagai pola kebudayaan bangsa yang akhirnya membentuk suatu tipe tersendiri sebagai penyambung corak masyarakat sebelum terjadinya perang dengan bangsa asing dan peradabannya di Arab.
Pada sisi lain, kita dapat melihat adanya lembaga-lembaga pendidikan khusus dan asing di dalam negeri yang melahirkan lapisan intelektual dan politisi yang mempelajari buku-buku terjemahan dari Barat. Perbandingan ini juga dapat dilihat pada karya seni dan sastra yang beraneka ragam. Nilai-nilai seni dan sastra yang satu mengandung ajaran keislaman dan kebangsaan tradisional. Sedangkan nilai-nilai seni dan sastra yang lainnya bermuara pada paradigma Barat.
Perbedaan dua tipe tersebut makin meningkat hingga menyentuh aspek bahasa percakapan, tidak hanya pada tataran isi, melainkan juga pada tataran bahasanya. Kita akan menemui bahasa Arab dengan berbagai dialeknya, bahasa asing, dan bahasa campuran (antara bahasa asing dan Arab).
Mengingat latar belakang objek yang demikian kompleks, studi ini tidak akan mencapai kedalaman sebelum peneliti meyakini pentingnya pendekatan ideologi-pemikiran-kultural sebagai dasar memahami eksistensi dua tipe masyarakat, kebudayaan, dan peradaban. Pembagian kebudayaan menjadi dua tipe atas dasar masyarakat tradisional dan masyarakat modern tidak akan tepat tanpa mengetahui perbedaan di antara kaum intelektual.
Pembagian ini justeru memungkinkan diketahuinya perbedaan-perbedaan di antara berbagai hal yang terdapat di dalam setiap masyarakat. Sesungguhnya perbedaan dan konflik yang terjadi di antara dua tipe kaum intelektual sangat besar. Dengan demikian, harus ditekankan bahwa sesuatu dengan sendirinya tidaklah dapat diklaim begitu saja sebagai fenomena masyarakat modern, melainkan harus disadari bahwa semua itu merupakan produk dari berbagai aliran, perbedaan, dan konflik yang telah lama ada di suatu wilayah atau negeri.
Tipologi Kalangan Profesional
Penjelasan dualistik di atas juga dapat ditemui pada dunia profesi yang terbagi atas kalangan profesional modern dan pekerja tradisional. Perbedaan ini akan tampak bila kita melihat piramida kelas dari kelompok-kelompok ini. Pada puncak piramida terdapat kelas profesi elit yang didominasi kalangan modern seperti dokter dan teknisi dan ahli hukum yang posisinya lebih rendah daripada teknisi.
Pada bagian bawah piramida terdapat masyarakat tradisional yang umumnya berstatus ekonomi lemah. Kelompok kedua ini terdiri atas pekerja tradisional, seperti tukang tembaga dan ahli besi atau kelompok yang telah menggunakan peralatan modern dalam batas-batas tertentu. Mereka pada umumnya masih menghargai dan menjaga kebudayaan, peradaban, dan pola hidup kerakyatan.
Tampak jelas bahwa realitas dua kelompok di atas cukup menyulitkan. Keduanya harus dipahami secara proporsional, sebab merupakan dua fenomena masyarakat yang berada dalam satu kota yang sedang berkembang. Dengan kata lain, mereka telah menginjakkan satu kakinya pada kebudayaan dan peradaban Barat tetapi kaki yang satu lagi masih tertanam pada bumi masyarakat tradisional.
Fenomena kota berkembang semacam ini harus diamati seiring dengan usaha-usaha menjelaskan berbagai kelompok masyarakat, seperti para pedagang, kalangan intelektual, dan lain-lain. Kota-kota tersebut membutuhkan perhatian khusus dalam upaya membatasi perspektif terhadapnya. Hal ini tidak mungkin terwujud tanpa membatasi dua tipe masyarakatnya terlebih dahulu.
Kebangkitan Islam dalam Perbincangan Para Pakar
(As-Shahwatul Islamiyah Ru'yatu Nuqadiyatu Minal Daakhili)
Penerbit GEMA INSANI PRESS
Jl. Kalibata Utara 11 No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
Pertama, masyarakat asli (tradisional) yang pada umumnya mempertahankan pola masyarakat Islam, yakni masyarakat yang berpegang teguh pada warisan dan tradisi serta memelihara sejarah. Masyarakat ini berfungsi sebagai penerus pola sosial masa lampau di bawah dominasi kolonialisme.
Kedua, masyarakat modern yang terbentuk di bawah pengaruh dominasi kolonial asing. Mereka berusaha menegakkan modernisasi ala Barat, sehingga pola pemikiran, gaya hidup, dan konsep-konsep Barat mewarnai masyarakat tipe ini.1
Mengapa Menggunakan Pendekatan Ideologis-Kultural?
Sebagian cendekiawan yang terpengaruh metodologi penelitian Barat menganggap bahwa pemakaian pendekatan ideologis-kultural dalam memahami masyarakat Arab-Islam merupakan suatu bias ilmiah. Ini karena konotasi ilmiah dalam tradisi berpikir mereka terbatas pada metode tertentu yang disepakati mereka. Artinya, mereka menganggap metode yang berbeda parameter, konsep, dan contoh historisnya dengan metode Barat sebagai metode yang tidak ilmiah.
Akan tetapi, jika kita menyepakati keabsahan tesis yang menyatakan bahwa corak masyarakat Islam jauh berbeda dengan corak-corak masyarakat yang didefinisikan Eropa, maka tesis ini sejak semula telah menggugurkan klaim keilmiahan metode-metode Barat yang selama ini digunakan untuk menganalisis masyarakat Arab-Islam.
Ini karena metode ilmiah tidak alergi terhadap data-data yang meliputi berbagai konsep, parameter, dan pola kemasyarakatan. Keilmiahan suatu penelitian ditentukan oleh sejauh mana penelitian itu mampu mengungkapkan fakta yang sebenarnya serta sejauh mana ia dapat meletakkan aspek-aspek tertentu pada proporsi yang sebenarnya. Bukan kesesuaiannya berdasarkan metode penelitian tertentu, misalnya metode Barat!
Selain itu, memahami realitas sosial negara Arab berdasarkan prinsip dikotomi antara dua tipe masyarakatnya adalah bertentangan dengan studi-studi pada umumnya, yang telah menganalisis sifat-sifat dasar masyarakat Arab-Islam, sehingga studi ini --yang memandang masyarakat Arab sebagai satu tipe-- akan menjadi studi yang menerapkan analogi-analogi masyarakat modern. Bila demikian, penelitian akan cenderung menafikan eksistensi masyarakat tradisional.
Meskipun benar bahwa masyarakat modern menguasai negara setelah jatuhnya kekuasaan kolonialisme dan berusaha menyatukan masyarakat di atas dasar dominasi dan pola modern, hal itu tidak berarti pihak yang tersisih (masyarakat tradisional --peny.) kehilangan eksistensi sama sekali dan harus tunduk pada garis masyarakat dan negara yang baru, sehingga mereka harus berbicara dengan bahasa modern dan menggunakan ukuran-ukurannya untuk memperoleh keberadaan yang diakui. Maka, lahirlah dualisme hukum dalam kancah ketegangan.
Sebab utama keabsahan penerapan pendekatan ideologis-kultural ini --kendati dipandang terdapat dua tipe masyarakat di negara-negara Arab-- dikembalikan kepada peran besar yang dimainkan oleh Islam dalam membentuk corak masyarakat Arab-Islam; suatu peran yang tidak ada duanya dibandingkan dengan tipe masyarakat manapun.
Islam menjadikan bangunan pemikiran ideologis sebagai salah satu syarat kokohnya konstruksi materi dan hubungan sosial. Sebab, seandainya masyarakat Arab-Islam mencoba melepaskan dirinya dari pusat ideologinya (Islam), niscaya ia akan tercerabut dari akar-akarnya, dan pada gilirannya akan mengalami kegoncangan.
Sebagai catatan, tesis mengenai program yang berangkat dari perspektif dualisme masyarakat dunia Islam, seyogianya disandarkan pada sejauh mana pandangan itu dapat diterapkan pada realitas.
Tipologi Pelaku Ekonomi
Bila kita berjalan-jalan di jantung kota-kota di Arab, kita akan menemui pasar-pasar tradisional dan pusat-pusat perbelanjaan modern. Kita dapat menyaksikan dua tipe areal yang perbedaannya sangat jauh, bahkan sangat mencolok. Kondisi semacam ini tak urung dapat ditemui juga di negara-negara Islam yang lain.
Dalam satu paket kebijaksanaan pemerintah terdapat dua komunitas pedagang, yaitu komunitas pedagang masyarakat tradisional dan komunitas pedagang masyarakat modern. Pada masing-masing komunitas tersebut, terdapat kelompok pedagang kecil, menengah, dan besar. Ada yang menempati bazar-bazar, pasar-pasar tradisional, gang-gang, dan perkampungan. Ada pula yang menempati kawasan elit.
Maka kita tidak sulit membayangkan dua tipe peradaban dari dua masyarakat yang berbeda di Arab. Termasuk di dalamnya: perbedaan nama, bahasa, cara berbicara, dan perilaku.
Tipologi Intelektual
Masalah ini akan tampak lebih jelas bila kita meneliti masalah pendidikan dan produknya. Terdapat dua tipe intelektual atau akademisi yang sangat kontras. Universitas-universitas yang mendasarkan diri pada sistem sekular mengedepankan corak kultur dan menelurkan alumninya yang tentu saja tidak lepas kaitannya dengan bentuk-bentuk kebudayaan Barat.
Perbedaan mencolok dapat kita lihat pada alumni al-Azhar (Mesir), Zaitunah (Tunisia), Qurawiyyin (Maroko), Qum (Iran), Najf (Irak), dan Fakultas Syariah di Suria dibandingkan dengan lulusan berbagai universitas di Paris, London, Washington, Moskow, atau institusi lokal yang modern. Tampak jelas adanya dua tipe pendidikan dan alumni yang dihasilkannya.
Dua tipe ini semakin terlihat tajam ketika diadakan pengamatan terhadap berbagai organisasi dan pranata kultural sebagai produk kebudayaan dan kalangan intelektual dalam masyarakat. Pada satu sisi, terdapat lembaga-lembaga studi keislaman dan pendidikan kebangsaan, masjid-masjid beserta halaqahnya, serta syekh tarekat dan para muridnya. Dari lembaga-lembaga ini muncullah berbagai pola kebudayaan bangsa yang akhirnya membentuk suatu tipe tersendiri sebagai penyambung corak masyarakat sebelum terjadinya perang dengan bangsa asing dan peradabannya di Arab.
Pada sisi lain, kita dapat melihat adanya lembaga-lembaga pendidikan khusus dan asing di dalam negeri yang melahirkan lapisan intelektual dan politisi yang mempelajari buku-buku terjemahan dari Barat. Perbandingan ini juga dapat dilihat pada karya seni dan sastra yang beraneka ragam. Nilai-nilai seni dan sastra yang satu mengandung ajaran keislaman dan kebangsaan tradisional. Sedangkan nilai-nilai seni dan sastra yang lainnya bermuara pada paradigma Barat.
Perbedaan dua tipe tersebut makin meningkat hingga menyentuh aspek bahasa percakapan, tidak hanya pada tataran isi, melainkan juga pada tataran bahasanya. Kita akan menemui bahasa Arab dengan berbagai dialeknya, bahasa asing, dan bahasa campuran (antara bahasa asing dan Arab).
Mengingat latar belakang objek yang demikian kompleks, studi ini tidak akan mencapai kedalaman sebelum peneliti meyakini pentingnya pendekatan ideologi-pemikiran-kultural sebagai dasar memahami eksistensi dua tipe masyarakat, kebudayaan, dan peradaban. Pembagian kebudayaan menjadi dua tipe atas dasar masyarakat tradisional dan masyarakat modern tidak akan tepat tanpa mengetahui perbedaan di antara kaum intelektual.
Pembagian ini justeru memungkinkan diketahuinya perbedaan-perbedaan di antara berbagai hal yang terdapat di dalam setiap masyarakat. Sesungguhnya perbedaan dan konflik yang terjadi di antara dua tipe kaum intelektual sangat besar. Dengan demikian, harus ditekankan bahwa sesuatu dengan sendirinya tidaklah dapat diklaim begitu saja sebagai fenomena masyarakat modern, melainkan harus disadari bahwa semua itu merupakan produk dari berbagai aliran, perbedaan, dan konflik yang telah lama ada di suatu wilayah atau negeri.
Tipologi Kalangan Profesional
Penjelasan dualistik di atas juga dapat ditemui pada dunia profesi yang terbagi atas kalangan profesional modern dan pekerja tradisional. Perbedaan ini akan tampak bila kita melihat piramida kelas dari kelompok-kelompok ini. Pada puncak piramida terdapat kelas profesi elit yang didominasi kalangan modern seperti dokter dan teknisi dan ahli hukum yang posisinya lebih rendah daripada teknisi.
Pada bagian bawah piramida terdapat masyarakat tradisional yang umumnya berstatus ekonomi lemah. Kelompok kedua ini terdiri atas pekerja tradisional, seperti tukang tembaga dan ahli besi atau kelompok yang telah menggunakan peralatan modern dalam batas-batas tertentu. Mereka pada umumnya masih menghargai dan menjaga kebudayaan, peradaban, dan pola hidup kerakyatan.
Tampak jelas bahwa realitas dua kelompok di atas cukup menyulitkan. Keduanya harus dipahami secara proporsional, sebab merupakan dua fenomena masyarakat yang berada dalam satu kota yang sedang berkembang. Dengan kata lain, mereka telah menginjakkan satu kakinya pada kebudayaan dan peradaban Barat tetapi kaki yang satu lagi masih tertanam pada bumi masyarakat tradisional.
Fenomena kota berkembang semacam ini harus diamati seiring dengan usaha-usaha menjelaskan berbagai kelompok masyarakat, seperti para pedagang, kalangan intelektual, dan lain-lain. Kota-kota tersebut membutuhkan perhatian khusus dalam upaya membatasi perspektif terhadapnya. Hal ini tidak mungkin terwujud tanpa membatasi dua tipe masyarakatnya terlebih dahulu.
Kebangkitan Islam dalam Perbincangan Para Pakar
(As-Shahwatul Islamiyah Ru'yatu Nuqadiyatu Minal Daakhili)
Penerbit GEMA INSANI PRESS
Jl. Kalibata Utara 11 No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
Langganan:
Postingan (Atom)